Kembara Pipit
I
Berat terasa langkah sayap burung pipit ini
Didera angin selatan, utara, timur, dan barat
Akan kemana kembaramu pipit?
Angin itu menantang
“Diriku akan hadir menyongsong fajar
Jikalau senja ini jembatan menuju malam
Semoga purnama itu menjadi kawan”
Guratan sang pipit menanti datangnya malam
Menjadi tetes kerinduan menemukan jawaban
Di bukit itu ia terdiam
Sejenak menanti sekumpulan awan
Sedang angin tetap mendekam
Lalu ia berbisik,
“Tak usah kau tempuh jalan ini
Ini hanyalah fatamorgana yang akan menipumu”
Rupanya sang malam tak rela melepas kegelapannya
Akankah ada cahaya bagimu?
“Cahaya itu akan datang jikalau aku menjemputnya
Disana, dibalik tabir itu ada cahaya diatas cahaya
Dengan setetes saja, malam akan terang untuk selama-lamanya
Hari akan cerah sampai tak ada batasnya
Burung-burung itu, akan berkicau riang menyambutnya
Bahkan seluruh makhluk, akan bersuka ria”
Ah…itu hanya gurauanmu?
Angin itu mendesaknya
Tidak!
Tidak!
Cahaya itu ada
Cahaya itu nyata
Cahaya itu satu
Satu untuk segala-galanya
Hasyim Asy’ari, 25/05/09
II
Alangkah panjang jarak yang kau tempuh
Melewati batas malam tiada bersimpuh
Adakah langkahmu terasa berat?
Bukankah telah ku temukan kawanan burung pelatuk ini
Di setiap ujung jambulnya, adalah obor yang akan menerangi
Bulunya menepis terkaan angin badai
Langkah kakinya menjadi pelindung ganasnya awan
Sayap-sayapnya, adalah induk sekaligus kawan
Di setiap hengkang nafasnya
Ada kata tersembunyi
Satu kalimat Ilahi
Bersemayam dalam jemari
Dengan lantang ia selalu mencecapi
“Allah ma’ani-Allah ma’ani…”
Telah hilang derap ketakutan
Bergeming kerinduan menemukan tujuan
Jika tatapannya masih bertabrakan
Segera ia bersihkan
Dengan air keabadian dari sungai hindustan
Ia usap wajah hingga kakinya
Dan segera ia berdiri
Menghadap khusyu kehadirat Ilahi
Hasyim Asy’ari, 26/05/09
III
Di sudut pepohonan malam aku terbisu
Menatap langit-langit putih
Sayapku tergolek lemas
“Aku memang bukan ia
Yang sayapnya lebar nan panjang
Dengan sekali kelebat
Awan-awan menyingkir kalang-kabut
Gunung menjulai menjadi bukit rendah”
Godaan keindahan membuat matanya menangis
Detak jantungnya melambat seakan tak berdenyut
Bulu-bulunya merapat tak mau terbang
Langkahnya lemas pertanda tak ada kobaran api
Oh…pipit yang pincang
Mengapakah kau begitu tenggelam
Dalam kehampaan yang sungguh tiada berujung itu
Ingatlah akan kesejatianmu
Engkau bukan dia, tetapi dia bukan engkau juga
Tak sama antara sayapmu dan sayapnya
Tapi adakah kau tak tahu
Bahwa dirinya dan dirimu hanyalah titik semu
Tak ada guna kau meratap membisu
Karena ratapanmu itu hanya omong-kosong
Tak ada guna pula kau bersandar padanya
Akan rapuh hidupmu selama kau percaya seutuhnya
Ingatlah-ingatlah
Diatas langit masih ada langit
Dialah musabbib dari segala sebab
Mintalah sebab kehadirat-Nya
Sebab yang akan menjadikan hidupmu
Tak bergantung pada sebab yang lain
Hasyim Asy’ari, 27/07/09
IV
Aku ingin bernyanyi bersamamu
Wahai burung bangau
Bersenandung cinta menepis rindu
Menari berputar bersama angin
Di pepohonan itu kita memadu tangis bahagia
Meski sumbang suaraku
Karena cinta ini sebatas cipratan embun
Akan kuterbangkan bersama angin siang ini
Menuju padanya sang panutan sejati
Panutan segala makhluk di dunia
Wahai engkau yang dahulu mengendara unta
Adakah akan kau ampirkan setetes air itu
Aku ingin meneguknya meski tetes terakhir
Aku yang menginginkan usapanmu
Memberi terang di dadaku
Menghilangkan segala kabutku
Yang acapkali menghalangi
Menatap cahayamu
Aku memang rindu menatapmu
Meski kerinduanku sebatas tiupan angin
Kadang datang, kadang pula menghilang
Mungkin, belum terpatri namamu yang agung itu
Di segenap dinding jantungku
Wahai Rumi,
Iqbal di Pakistan,
Atau pun engkau Robi’ah
Ajari aku mencinta
Seperti cintanya rembulan kepada cahaya
Cintanya pujangga kepada kekasihnya
Cintanya Ibu kepada anak-anaknya
Atau seperti cintanya sang pecinta
Kepada kekasih keabadiannya
Aku ingin mencinta,
Hasyim Asy’ari, 27/07/09
V
Aku akan menjadi musafir di ujung jalan
Mencari cinta dari sisa-sisa kehidupan
Memburu cahaya yang kian memadam
Di ruang hampa ini
Ku tautkan wajahku menatap cakrawala
Kulihat deretan awan tak lagi berjajar
Malam kian bisu oleh kedirian yang fana
Kupandang sekitarku hanyalah debu beterbangan
Yang tak tahu apa isinya
Barangkali seperti itu pula diriku
Onggokan sampah tiada terjamah
Oh…pemilik kehidupan
Begitu banyak anugrah telah kau curahkan
Tapi tak secuilpun mampu kudayagunakan
Yang kubangun justru monumen-monumen keangkuhan
Yang tak tahu berapa jumlahnya
Sungguh betapa bodoh jiwa ini
Tak pernah berfikir bahwa anugrah itu
Jalan menuju cinta
Hasyim Asy’ari, 04/11/09
VI
Kalau kau bertanya padaku
Apa gerangan yang kupikirkan
Akan ku jawab, aku sedang menunggu matahari
Disini,
Di malam berliput hampa
Tatapanku sayu bernada resah
Sungguh angin telah memenjaraku
Dalam kubangan ketidakpastian
Di setiap ujung hembusannya
Bau anyir kegetiran ia muncratkan
Padang pasir nun jauh disana
Ia hadirkan menyusup gelapku
Mataku pun buta memandang sekeliling
Cahaya keemasan tertutup rapat-rapat
Hilang entah kemana kembaranya
Bintang-bintang diangkasa
Sampai-sampai mengerlipkan senyumnya
Entah, apakah ia lelah memandang dunia
Ataukah mataku yang ngilu
Tak mampu menangkap sinarnya
Sungguh aku terlelap kebimbangan
Langkahku lumpuh tertikam waktu
Hasyim Asy’ari, 5/11/09
VII
Bukanlah ledakan petir yang kutakutkan
Tetapi tusukan duri yang menyeringai jalanku
Petir menyambar menghamburkan panorama mata
Duri menusuk melubangi daging-daging
Tak terlihat mata tapi pedih terasa
Sayapku pilu jika tertikam runcingnya
Pelan tapi meyakinkan, dagingku robek dan pecah
Tanpa terbekas goresan luka menganga
Namun sakitnya sungguh membusukkan mata
Dalam getiran ini aku ingin terbang
Melintas langit tujuh rupa tanpa kata
Biarkan burung-burung manyar itu bercerocoh mencariku
Mondar-mandir dalam kebisingan senja
Berputar dalam galaksi kediriannya
Jika waktu telah berutar ke barat
Tentu mereka tahu arti keinginanku
Aku adalah pencari kata
Dibalik jelujur ayat-ayat alam
Satu demi satu kupandangi
Karya Tuhan yang maha Tinggi
Tak satu pun mereka bersedih hati
Apakah itu syair cinta yang melantunkan bait harapan
Ataukah bayangan semu yang siap menerkam
Aku pun masih terbuai dalam kebimbangan
Hasyim Asy’ari, 15 Des 09
VIII
Jelujur-jelujur hujan membelah arah angin
Dari balik awan putih meluncur laksana tombak
Hujan adalah panorama kepastian
Pertanda hidup akan basah oleh kegalauan
Akankah hujan ini membebani sayap-sayapmu
Karena runcingnya pedang terwakilkan olehnya?
Tidak!
Hujan bukanlah malaikat maut
Ia hanya secuil gerigi dari keterasingan diri
Hujan menjadi tanda
Bahwa manusia mencari yang Esa
Tapi hujan juga bisa menjelma
Dan mengubur kedirian kita
Yogyakarta, 11 Januari 2010
Malam Cinta
Daun-daun berguguran menyebut namamu
Mereka tak kuasa menahan rindu ingin bertemu
Bagai malam-malam panjang menanti musim cinta
Dawainya syahdu menari indah gemulai
Inilah malam impian
Sang kekasasih dahulu di isra’kan
Dari bumi menuju kehadirat-Nya
Tiadalah kedukaan datang
Bagi bumi yang kian lajang
Awan-awan bersuka ria di cakrawala
Angin menunda badainya
Burung pipit membaguskan kicaunya
Semua merasa bahagia
Bersama malam cinta
Hasyim Asy’ari, 25/09/09
Telapak Jiwa
Telah kutelusuri
Sungai-sungai kehidupan
Sepanjang jelujur alam
Ketika telah berlalu
Sepertiga dari umurku
Belum kutemukan telaga kejernihan
Sesak dengan air kearifan
Aku memimpikan
Halaqah-halaqah panjang
Penuh ramai gemerlap keilmuan
Dari bilik pesantren
Ingin kudengar nyanyian
Bait-bait alfiyah dan wiridan
Dari bukit mercusuar
Gemerlap universitas berpendar
Syarat dengan diskusi-diskusi tenar
Atau dari barisan kaum muda
Ingin kudengar gaungnya
Ah…
Ada-ada saja
Jangan kau mengigau
Seperti katak yang ingin terbang
Semua hanya sebatas mimpi
Berada dalam tabir kosong ruhani
Kalau tidak mawas diri
Jasadmu terpendam dalam ilusi
Tapi benarkah…
Tak bisa kutemukan
Setitik air kejernihan
Dari samudra ke-Esa-an
Akan ku tumpahkan
Dalam batin harapan
Menghilangkan haus kegelisahan
Ketika batinku ingin berkelana
Jiwaku kosong dari arah jalannya
Akan kemana kulangkahkan keinginan
Atau harus terkubur
Dalam badai angan-angan
Hasyim Asy’ari, 4 Maret 2010
Tembang Perpisahan
Kepadamu merpati putih
Di taman bunga-bunga
Angin dari timur mengabarkan salam
Pertanda insan mengobarkan doa
Teruntukmu manusia sahaja
Suatu kala kita bertemu
Dalam jamuan persaudaraan
Asyik dengan canda tawa
Kau hiasi hidupku
Dengan permadani penuh pesona
Hingga mengalir cucuran makna
Dari keriputnya cita-cita
Suatu hari itu pasti datang
Tembang perpisahan antara dua insan
Detik kepastian menuju kedirian
Telah terbuka lebar
Kawan, sungguh
Bukan perpisahan ini yang kusesalkan
Tapi ke-tercerai-an yang kutakutkan
Perpisahan menyisakan
Dendang rindu penuh cinta
Ke-tercerai-an menyisakan
Nada dendam penuh luka
Jikalau engkau musafir cinta
Kita menempuh jalan berbeda
Hanya harapku jua
Kelak berjumpa di ujung yang sama
Jangan kau menyerah pada bayang-bayang
Tunjukkan bahwa kita punya cita-cita
Semoga sukses
Wahai mahkota impian
Ayah dan Ibu membentangkan harapan
Semoga hidupmu berguna
Di hari ini dan akan datang,
Amin…
Hasyim Asy’ari, 9 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar