Senin, 28 Februari 2011

Habibie dan Mimpi Peradaban Teknologi


Judul Buku      : Jejak Pemikiran B.J. Habibie; Peradaban Teknologi Untuk Kemandirian Bangsa
Editor              : Andi Makmur Makka
Penerbit           : PT Mizan Pustaka
Cetakan           : I, November 2010
Tebal               : 350 halaman
Peresensi         : Fatkhul Anas


Sebagai Negara berkembang, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi yang luar biasa. Sumber daya alam yang melimpah adalah salah satunya. Kandungan zat mineral dengan berbagai jenisnya, tertimbun di dalam bumi Indonesia berabad-abad lamanya. Tak hanya gas bumi; emas, perak, timah, bauksit, pasir besi, dan berbagai jenis tembaga lainnya, siap dipanen dan dimanfaatkan. Indonesia juga memiliki hutan yang kaya akan flora dan fauna. Keanekaragaman hayati itu menjanjikan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk itulah, diperlukan perangkat teknologi canggih agar dapat mengolah segala kekayaan alam tersebut. Dengan teknologi, kekayaan alam yang tak terjamah oleh tangan manusia, bisa dikelola sehingga menjadi barang berharga. Perangkat teknlogi inilah yang membantu manusia untuk meneropong masa depannya. Apalagi untuk konteks Indonesia yang wilayahnya begitu luas, teknologi menjadi perangkat penting yang kehadirannya ditunggu untuk kemajuan bangsa.

Semenjak kemerdekaan, bangsa Indonesia sesungguhnya telah mencoba berkenalan dengan teknologi. Bahkan, Indonesia memiliki ahli teknologi yang cerdas dan brilian yaitu B.J. Habibie. Beberapa gagasannya menjadi titik awal bagi terciptanya iklim teknologi yang massif di Indonesia. Gagasan tersebut dituangkan dalam berbagai artikel, ulasan, maupun ceramah, yang kesemuanya dirangkai dalam buku ini. Meski belum sempurna merekam pemikiran Habibie, buku ini setidaknya menjadi wakil atas kecemerlangan gagasan beliau.      

Kehadiran Habibie di kancah teknologi memang mengejutkan, sekaligus menggembirakan. Terkejut karena beliau memiliki gagasan yang brilian, dan gembira karena beliau mau mengabdi di negrinya sendiri. Kedatangan Habibie ke kancah teknologi Indonesia ditandai ketika beliau pada tahun 1973 meninggalkan Jerman demi memenuhi panggilan presiden Soeharto. Saat itu Habibie berumur 35 tahun dan telah memiliki berbagai jabatan prestisius karena beliau menjadi pakar teknologi penerbangan yang disegani di Barat.

Langkah Habibie semakin nyata ketika tahun 1978 beliau dilantik menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Sejak saat itu, terjadi perubahan mendasar pada kegiatan penelitian di Indonesia. Kegiatan penelitian lebih terfokus untuk mengasilkan teknologi yang diterapkan bagi keperluan pembangunan. Sejak saat itu pula, istilah Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), mulai poluler sehingga pada tahun 1993 Iptek dijadikan sebagai salah satu asas pembangunan (hal. 12).

Habibie juga sukses merintis badan-badan penelitian seperti Dewan Riset Nasional (DRN) yang merupakan wadah koordinasi nonstruktural, yang merumuskan program ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu disusul lahirnya Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) sebagai tempat para akademisi untuk menggali ilmu dan teknologi. Tak ketinggalan pula industri strategis, yang beliau bangun di kota-kota yang memiliki perguruan tinggi unggul. Seperti IPTN yang bersinergi dengan ITB Bandung. Industri ini bergerak dalam bidang kedirgantaraan.

Lalu PT PAL di Surabaya bersinergi dengan ITS Surabaya dalam bidang perkapalan dan kelautan. Sedangkan Institut Teknologi Indonesia (ITI) di Serpong bersinergi dengan pusat penelitian di Puspiptek. Produk yang lahir dari integrasi teknologi tersebut juga bermacam-macam, seperti pesawat N-235 dan N-250, kapal Caraka Jaya dan Palwo Buwono.    

Gagasan Habibie yang mampu menelorkan berbagai produk diatas, lahir dari analisisnya yang tajam akan kondisi Indonesia. Bagi Habibie, negri ini laiknya penggalan surga karena memiliki kekayaan alam yang melimpah. Kekayaan alam tersebut harus bisa diolah agar dapat menghasilkan nilai tambah (added value) yang melimpah. Sebagai contoh, pasir besi jika dijual apa adanya tanpa diolah menjadi barang elektronik seperti motor, jelas harganya akan murah. Tetapi kalau mampu diolah menjadi barang elektronik, harganya akan semakin mahal.

Untuk menghasilkan nilai tambah (added value), tentu saja dibutuhkan biaya tambah (added cost). Untuk itulah, pemberdayaan sumber data manusia (SDM) bagi Habibie harus dimaksimalkan. Tujuannya adalah untuk menekan biaya tambah (added cost). Pasalnya, kalau SDM Indonesia mampu mengelola kekayaan alamnya sendiri, tentu tidak perlu membayar lebih untuk tenaga ahli dari luar. Cukup memanfaatkan orang-orang dalam negri saja. Bahkan ini bisa membuka lapangan kerja.    

Habibie memang sangat menekankan pemberdayaan sumber daya manusia karena bagi beliau kemajuan lestari suatu bangsa tidak terutama bergantung kepada dimilikinya sumber-sumber kekayaan alam. Tetapi, kemajuan lestari suatu bangsa bergantung pada ketangguhan, keuletan, dan ketrampilan sumber daya manusia (hal 117). Disinilah faktor penting yang sampai sejauh ini masih belum diperhatikan sepenuhnya oleh pemerintah. Selama ini, kita menggembar-gemborkan kemajuan Iptek, tetapi luput untuk mengurus SDM secara serius. Terbukti dengan pendidikan yang belum bisa dinikmati secara layak oleh seluruh warga Indonesia.

Bagi Habibie, perluasan kesempatan pendidikan menjadi prioritas yang harus dilakukan. Pendidikan tetaplah menjadi tonggak utama kemajuan. Karena itu, peningkatan mutu pendidikan menjadi sebuah keniscayaan. Begitu juga dengan upaya mencari keterkaitan dan kecocokan pendidikan dengan dinamika industri.  Ini merupakan tuntutan pendidikan yang tak kalah penting. Problem kemiskinan dan pengangguran bisa berkurang kalau manusia Indonesia memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang kesemua itu didapat dari pendidikan.

Pada dasarnya, Habibie ingin agar dinamika teknologi di negri ini terbangun secara massif sehingga Indonesia menjadi negri dengan peradaban teknologi yang maju. Untuk itu, pembangunan SDM harus terus dilakukan seiring dengan pembangunan teknologi.    

(Resensi ini dimuat di Kompas.com, 29 Januari 2011)

Islam Menjemput Masa Depan

Judul buku      : Masa Depan Islam; Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat
Penulis             : John L. Esposito
Penerbit           : PT Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan           : I, Desember 2010
Tebal               : 343 halaman
Peresensi         : Fatkhul Anas

Keberadaan umat muslim di abad 21, menjadi sorotan tersendiri bagi masyarakat dunia. Pasalnya, Islam saat ini sedang berkembang pesat di Negara-negara Barat seperti Amerika, Inggris, Belanda, dan lainnya. Ditambah dengan meletusnya revolusi Iran, semakin menjadikan Islam ramai diperbincangkan. Semula, wajah Islam sekian lama tak dipandang. Perkembangan ini tentu menjadi kabar gembira bagi dunia muslim khususnya, sebab Islam mampu diterima di berbagai belahan dunia.   

Namun disisi lain, hadirnya peristiwa 9 September 2001 semakin menyudutkan umat muslim. Banyak serangan bertubi-tubi, terutama dari bangsa-bangsa Barat, terhadap umat Muhammad ini. Umat muslim diklaim sebagai teroris, kaum bar-bar, ekstrim, dan berbagai lebel negative lainnya. Keadaan ini tentu saja membelenggu umat muslim di tengah percaturan dunia yang semakin kompetitif. Dalam hal inilah, umat muslim di seluruh dunia diharapkan mampu merumuskan kerangka masa depan mereka demi keberlangsungan hidup.

Seperti apakah masa depan umat Islam sesungguhnya? Disinilah Prof. John L. Esposito menyuguhkan paparannya dan mencoba memberi kerangka pikir bagi umat muslim untuk merumuskan masa depan mereka. Esposito menilai, tantangan umat muslim sesungguhnya berada pada dua jalur: internal dan eksternal.  Keduanya sama-sama berpotenti besar untuk melahirkan ketidakharmonisan dan kesuraman.

Tantangan dari internal diantaranya adalah hadirnya paham eskrim-eksklusif dalam tubuh umat Islam. Paham ini demikian gencar menyatakan permusuhan terhadap Barat, khususnya Amerika. Bagi mereka, Amerika dan sekutunya adalah musuh yang tak boleh dijadikan partner. Melainkan harus diperangi. Amerika tidak akan pernah rela jika Islam maju, sehingga terus-menerus memojokkan Islam. Berpartner dengan Amerika dan sekutunya hanya akan mendatangkan kerugian besar. Itu beberapa pendapat mereka.

Selain itu, tantangan berupa kemiskinan, pendidikan rendah, buta huruf, bias jender, ketertinggalan teknologi, juga menjadi problem tersendiri bagi umat Islam. Saat ini dunia Islam berada pada posisi yang masih “ekstrim” karena hampir seluruhnya hidup pada Negara yang masih berkembang. Bahkan boleh dibilang masih terbelakang dibandingkan dengan Negara-negara sekuler. Kondisi ini tentu saja menyulitkan umat Islam untuk bisa melampaui kemajuan Barat. Paling tidak, bisa setara saja, itu sudah merupakan kemajuan yang luar biasa.   

Adapun tantangan di wilayah eksternal tak lain adalah benturan dengan Barat. Pasca peristiwa 9 September 2001, umat Islam terus-menerus menerima stereotip buruk. Mereka dicap sebagai teroris, anti-Amerika, anti-demokrasi, dan anti-kebebasan. Sejak saat itulah gejala “islamophobia” menyebar di seluruh dunia. Istilah islamophobia ini sesungguhnya pertamakali diciptakan oleh Runnymede Trust, kelompok pemikir independen di Amerika pada tahun 1997. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kebencian, prasangka, dan diskriminasi yang ditujukan untuk umat Islam (hal. 34).

Sampai saat ini, penilaian masyarakat Amerika terhadap Islam masih buruk. Islam dianggap agama yang kejam, tak berperi kemanusiaan dan tak berkeadilan. Pendapat Michael Savage yang menyatakan bahwa, “Orang-orang ini (Arab dan Muslim) harus dipaksa menjadi Kristen…. Itulah satu-satunya jalan yang mungkin dapat mengubah mereka menjadi manusia”, adalah salah satu contohnya. Selain itu, keberadaan Islam di Amerika juga tidak begitu direspon oleh masyarakat Amerika sendiri. Jajak pendapat Gallup 2005 tentang hal yang dikagumi dari Islam, 57% warga Amerika menyatakan tidak ada dan tidak tahu. Ini adalah pukulan telak bagi muslim Amerika dan dunia.

Dua tantangan diatas adalah PR nyata umat Islam. Terpaksa maupun tidak, umat Islam harus bisa menyelesaikannya demi kemajuan di hari depan. Jalan penyelesaian tersebut menurut Esposito antara lain adalah dengan membangun kerjasama yang baik antara Islam dan Barat. Untuk mendukung agenda ini, tentu dibutuhkan keterbukaan dari kedua pihak. Islam harus menghentikan agenda anti-Barat, Barat juga harus menghentikan agenda anti-Islam. Hadirnya Obama dalam kancah perpolitikan Amerika, sedikitnya telah membuka harapan masyarakat muslim akan adanya perubahan. Obama dinilai mampu membawa perdamaian antara Islam dan Barat dari pada lawannya, John McCain.

Dalam pidato pelantikannya, Obama mengatakan bahwa, “kepada dunia muslim, kita cari jalan baru ke depan, berlandaskan kepentingan bersama dan sikap saling menghargai”. Ia juga menekankan perlunya menjalankan kekuatan Amerika dengan bijak dan bermoral. Ini adalah iktikad baik Obama untuk perdamaian bersama. Kalau pun pada realisasinya hingga kini belum ada perubahan signifikan, setidaknya Obama telah berusaha membuka kran hubungan harmoni yang telah lama ditinggalkan (hal 217).       

Barangkali yang sangat perlu untuk dirubah adalah cara pandang kedua belah pihak (Barat vs Islam) yang penuh dengan kecurigaan. Keduanya masih saja menyimpan sisa-sisa dendam sejarah. Barat, meski tidak semuanya, belum bisa menerima Islam sepenuhnya. Begitu juga Islam, masih ada yang belum bisa menerima Barat. Padahal, keduanya hidup dalam satu bumi yang tentu saja saling bersinggungan. Karenanya, keterbukaan informasi, penilaian yang fair, dan kerjasama yang baik sangat dianjurkan demi keberlangsungan bersama.   

Selain menjalin hubungan harmoni, umat Islam juga harus berani berijtihad untuk melakukan pembaruan. Ketertinggalan Negara-negara Islam dari Barat baik dari segi pendidikan, ekonomi, teknologi, dan lainnya, merupakan tantangan baru yang harus diselesaikan dengan cara yang baru pula. Cara-cara konservatif tidak mampu memberikan jalan keluar untuk menjawab tantangan zaman. Begitu juga untuk menjawab isu-isu global seperti kesetaraan gender, HAM, demokrasi, jelas dibutuhkan formula Islam yang segar. Sebenarnya, berbagai usaha pembaruan telah dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam seperti Tariq Ramadan, Mustafa Ceric, Amina Wadud, Al-Faruqi, dan lainnya. Namun, usaha itu masih perlu untuk terus dilakukan mengingat masih adanya umat Islam yang berpaham konservatif dan anti terhadap pembaruan. 

(Resensi ini dimuat di Kompas.com, 15 Januari 2011) 

Teologi Kurban Untuk Kaum Perempuan

Oleh : Fatkhul Anas

Puji syukur patut kita haturkan kehadirat Allah Swt atas limpahan karunia-Nya berupa Idul Adha. Di tengah umat yang terlilit bencana, kehadiran Idul Adha bisa menjadi spirit untuk menegakkan kembali cita-cita masa depan yang kandas oleh zaman. Idul Adha  dengan anjuran berkurban di dalamnya, adalah semangat pengorbanan untuk menjemput tujuan hidup yang mulia.
Hanya saja, kurban selama ini dipahami sebagai ibadah yang hanya menjadi hak kaum laki-laki. Seolah, kaum perempuan tak mempunyai andil dalam hal itu. Kaum laki-lakilah yang memiliki otoritas penuh atas spirit kurban. Hal ini wajar karena secara historis, pensyariatan kurban memang hanya melibatkan kaum laki-laki yaitu Ibrahim As dan Ismail As.    

Pengorbanan perempuan
Dalam surah Ash-Shaffat (37) ayat 102, disana dinyatakan, ”Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirlah apa pendapatmu?” Ia menjawab, ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan  mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Dalam ayat ini memang hanya ada dua pelaku yaitu Ibrahim As dan Ismail As yang semuanya laki-laki. Sehingga, seolah-olah semangat pengorbanan hanya dimiliki oleh kaum laki-laki.

Namun, perlu kita cermati bersama bahwa semangat pengorbanan sesungguhnya tidak hanya dimiliki oleh kaum laki-laki. Perempuan pun ikut andil di dalamnya. Hal ini karena perempuan adalah bagian dari kaum laki-laki. Jika dalam ayat diatas yang digambarkan adalah pengorbanan Ibrahim As dan Ismail As, sesungguhya istri Ibrahim As pun ikut berkorban. Bayangkan jika Ibrahim As tidak mempunyai istri, tentu tidak akan lahir Ismail As dan spirit pengorbanan itu tidak terjadi. Jika Ibrahim As begitu tersayat hatinya ketika akan menyembelih anaknya, apalagi sang istri yang melahirkan anak tersebut. Tentu akan lebih tersayat lagi.

Dari sini menjadi jelas bahwa perempuan pun sesungguhnya ikut berkorban. Bukan hanya kaum laki-laki saja. Dalam catatan sejarah pun telah terbuki, bahwa kaum perempuan memiliki pengorbanan besar dalam perjuangan Islam. Adalah Khadijah ra, istri Nabi, perempuan dalam Islam yang banyak memberikan pengorbanan untuk dakwah Nabi. Ia tidak hanya menemani Nabi dalam suka dan duka, tetapi mengorbankan harta dan nyawa. Begitu berarti Khadijah bagi Nabi sehingga Nabi begitu bersedih atas kepergiannya.   

Dalam buku Fiqih Politik Kaum Perempuan (2002), Cahyadi Takariawan mengutip pendapat Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, yang menyatakan bahwa di masa Nabi kaum perempuan ikut berjuang. Salah satunya adalah dalam pengepungan benteng Khaibar. Saat itu, jumlah mereka ada lima belas orang. Mereka diantaranya adalah, Ummu Sinan Al-Aslamiyyah, Ummu Aiman, Salma, Ku’aibah binti Sa’ad Al-Aslamiyyah, Ummu Mutha’ Al-Aslamiyyah, Umayyah binti Qais Al-Ghifariyah, Ummu Amir Al-Asyhaliyyah, Ummu Adh-Dhahak binti Mas’ud Al-Haritsiyyah, Hindun binti Umar bin Haram, Ummu Mani’ binti Umar, Ummu Imarah Nasibah binti Ka’ab, Ummu Salith An-Najjariyyah, Ummu Sulaim, Ummu Athiyyah Al-Anshariyyah, dan Ummu al-A’la Anshariyyah (hlm. 87).

Tak hanya itu, mereka juga terlibat langsung di medan perang. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Anas ra, bahwasanya Ummu Sulaim membawa pisau pada perang Hunain, ketika ditanya Nabi Saw ia menjawab, ”Aku bawa pisau ini, jika akan salah seorang musyrik menghampiriku, akan aku tusuk perutnya” (H.R. Muslim).

Kesetaraan
Spirit pengorbanan yang dilakukan perempuan, sesungguhnya adalah bukti nyata bahwa perempuan tidak identik dengan kaum yang lemah. Karena itu, perempuan dalam bidang-bidang tertentu setara dengan kaum laki-laki. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan tentang kesetaraan itu. Diantaranya adalah setara dalam hal balasan kebaikan (Q.S 4:124& Q.S.16:97), setara dalam hal musyawarah (Q.S.2:233). Bahkan, perempuan sejatinya menjadi partner dalam hubungan sosial (Q.S.9:72).

Syech Ali Ahmad Al-Jarjawi dalam Hikmatu at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Muslim bin Ubaid, bahwasanya Asma’ binti Yazid al-Anshariyyah mendatangi Nabi Saw sebagai utusan kaum wanita. Ia mengatakan bahwa, golongan wanita terpenjara diam di rumah-rumah dan mengandung bayi. Sementara, kaum laki-laki, telah melebihi keutamaan pahalanya dari perempuan karena mereka berjamaah, menjenguk orang sakit, melayat orang meninggal, dan berhaji untuk yang kesekian kalinya. Dan yang lebih utama lagi, kaum laki-laki bisa berjihad fi sabilillah.

Asma’ lalu berkata, “Salah satu dari kalian jika melakukan haji atau umrah atau sedang berjihad, maka kamilah yang menjaga harta kalian, mencuci pakaian kalian, dan mendidik anak-anak kalian. Apakah dengan begitu kami juga mendapatkan bagian pahala seperti yang kalian dapatkan?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Nabi Saw menolehkan wajahnya ke arah para sahabat (laki-laki) dengan perasaan takjub terhadap pertanyaan tersebut. Para sahabat kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, menurut kami, kaum wanita tidak akan mendapat pahala seperti kita”. Nabi Saw kemudian menjawab,

Pahamkan dan beritahukanlah kepada golonganmu wahai kaum wanita. Jika seorang wanita berbuat baik terhadap suaminya, mendapat ridhanya, dan mengikuti para suaminya tersebut, maka mereka akan mendapat pahala yang sebanding dengan apa yang didapatkan kaum laki-laki”.

Dari hadis ini menjadi semakin jelas bahwa posisi perempuan dalam balasan kebaikan setara dengan laki-laki karena mereka telah berkorban meski hanya di rumahnya. Karena itu, spirit pengorbanan kaum perempuan tidak boleh diremehkan. Perempuan memainkan peranan penting yang sangat bermakna dalam kehidupan. Tanpa perempuan, kehidupan di dunia ini tidak akan seimbang. Hormatilah perempuan sebagaimana Tuhan menghormatinya dan jadikan mereka partner dalam kebaikan. Inilah sesungguhnya makna dari teologi kurban untuk kuam perempuan. 

(opini ini dimuat di Kompas Jogja, 16 November 2010)