Rabu, 10 Maret 2010

Puisiku

Kembara Pipit

I
Berat terasa langkah sayap burung pipit ini  
Didera angin selatan, utara, timur, dan barat
Akan kemana kembaramu pipit?
Angin itu menantang

“Diriku akan hadir menyongsong fajar
Jikalau senja ini jembatan menuju malam
Semoga purnama itu menjadi kawan”

Guratan sang pipit menanti datangnya malam
Menjadi tetes kerinduan menemukan jawaban
Di bukit itu ia terdiam
Sejenak menanti sekumpulan awan
Sedang angin tetap mendekam

Lalu ia berbisik,
“Tak usah kau tempuh jalan ini
Ini hanyalah fatamorgana yang akan menipumu”

Rupanya sang malam tak rela melepas kegelapannya
Akankah ada cahaya bagimu?

“Cahaya itu akan datang jikalau aku menjemputnya
Disana, dibalik tabir itu ada cahaya diatas cahaya
Dengan setetes saja, malam akan terang untuk selama-lamanya
Hari akan cerah sampai tak ada batasnya
Burung-burung itu, akan berkicau riang menyambutnya
Bahkan seluruh makhluk, akan bersuka ria”

Ah…itu hanya gurauanmu?
Angin itu mendesaknya

Tidak!
Tidak!
Cahaya itu ada
Cahaya itu nyata
Cahaya itu satu
Satu untuk segala-galanya


                                      Hasyim Asy’ari, 25/05/09


II
Alangkah panjang jarak yang kau tempuh
Melewati batas malam tiada bersimpuh
Adakah langkahmu terasa berat?

Bukankah telah ku temukan kawanan burung pelatuk ini
Di setiap ujung jambulnya, adalah obor yang akan menerangi
Bulunya menepis terkaan angin badai
Langkah kakinya menjadi pelindung ganasnya awan
Sayap-sayapnya, adalah induk sekaligus kawan

Di setiap hengkang nafasnya
Ada kata tersembunyi
Satu kalimat Ilahi
Bersemayam dalam jemari
Dengan lantang ia selalu mencecapi
“Allah ma’ani-Allah ma’ani…”

Telah hilang derap ketakutan
Bergeming kerinduan menemukan tujuan
Jika tatapannya masih bertabrakan
Segera ia bersihkan
Dengan air keabadian dari sungai hindustan
Ia usap wajah hingga kakinya
Dan segera ia  berdiri
Menghadap khusyu kehadirat Ilahi 

                                      Hasyim Asy’ari, 26/05/09

III
Di sudut pepohonan malam aku terbisu
Menatap langit-langit putih
Sayapku tergolek lemas

“Aku memang bukan ia
Yang sayapnya lebar nan panjang
Dengan sekali kelebat
Awan-awan menyingkir kalang-kabut
Gunung menjulai  menjadi bukit rendah”

Godaan keindahan membuat matanya menangis
Detak jantungnya melambat seakan tak berdenyut
Bulu-bulunya merapat tak mau terbang
Langkahnya lemas pertanda tak ada kobaran api

Oh…pipit yang pincang
Mengapakah kau begitu tenggelam
Dalam kehampaan yang sungguh tiada berujung itu
Ingatlah akan kesejatianmu
Engkau bukan dia, tetapi dia bukan engkau juga
Tak sama antara sayapmu dan sayapnya

Tapi adakah kau tak tahu
Bahwa dirinya dan dirimu hanyalah titik semu
Tak ada guna kau meratap membisu
Karena ratapanmu itu hanya omong-kosong

Tak ada guna pula kau bersandar padanya
Akan rapuh hidupmu selama kau percaya seutuhnya
Ingatlah-ingatlah
Diatas langit masih ada langit
Dialah musabbib dari segala sebab
Mintalah sebab kehadirat-Nya
Sebab yang akan menjadikan hidupmu
Tak bergantung pada sebab yang lain

                                Hasyim Asy’ari, 27/07/09
IV
Aku ingin bernyanyi bersamamu
Wahai burung bangau
Bersenandung cinta menepis rindu
Menari berputar bersama angin
Di pepohonan itu kita memadu tangis bahagia

Meski sumbang suaraku
Karena cinta ini sebatas cipratan embun
Akan kuterbangkan bersama angin siang ini
Menuju padanya sang panutan sejati
Panutan segala makhluk di dunia

Wahai engkau yang dahulu mengendara unta
Adakah akan kau ampirkan setetes air itu
Aku ingin meneguknya meski tetes terakhir

Aku yang menginginkan usapanmu
Memberi terang di dadaku
Menghilangkan segala kabutku
Yang acapkali menghalangi
Menatap cahayamu

Aku memang rindu menatapmu
Meski kerinduanku sebatas tiupan angin
Kadang datang, kadang pula menghilang
Mungkin, belum terpatri namamu yang agung itu
Di segenap dinding jantungku

Wahai Rumi,
Iqbal di Pakistan,
Atau pun engkau Robi’ah

Ajari aku mencinta
Seperti cintanya rembulan kepada cahaya
Cintanya pujangga kepada kekasihnya
Cintanya Ibu kepada anak-anaknya
Atau seperti cintanya sang pecinta
Kepada kekasih keabadiannya

Aku ingin mencinta,


                                Hasyim Asy’ari, 27/07/09

V
Aku akan menjadi musafir di ujung jalan
Mencari cinta dari sisa-sisa kehidupan
Memburu cahaya yang kian memadam

Di ruang hampa ini
Ku tautkan wajahku menatap cakrawala
Kulihat deretan awan tak lagi berjajar
Malam kian bisu oleh kedirian yang fana

Kupandang sekitarku hanyalah debu beterbangan
Yang tak tahu apa isinya
Barangkali seperti itu pula diriku
Onggokan sampah tiada terjamah

Oh…pemilik kehidupan
Begitu banyak anugrah telah kau curahkan
Tapi tak secuilpun mampu kudayagunakan
Yang kubangun justru monumen-monumen keangkuhan
Yang tak tahu berapa jumlahnya
Sungguh betapa bodoh jiwa ini
Tak pernah berfikir bahwa anugrah itu
Jalan menuju cinta  

                                Hasyim Asy’ari, 04/11/09


VI
Kalau kau bertanya padaku
Apa gerangan yang kupikirkan
Akan ku jawab, aku sedang menunggu matahari

Disini,
Di malam berliput hampa
Tatapanku sayu bernada resah
Sungguh angin telah memenjaraku
Dalam kubangan ketidakpastian
Di setiap ujung hembusannya
Bau anyir kegetiran ia muncratkan

Padang pasir nun jauh disana
Ia hadirkan menyusup gelapku
Mataku pun buta memandang sekeliling
Cahaya keemasan tertutup rapat-rapat
Hilang entah kemana kembaranya
Bintang-bintang diangkasa
Sampai-sampai mengerlipkan senyumnya

Entah, apakah ia lelah memandang dunia
Ataukah mataku yang ngilu
Tak mampu menangkap sinarnya

Sungguh aku terlelap kebimbangan
Langkahku lumpuh tertikam waktu

                            Hasyim Asy’ari, 5/11/09   


VII
Bukanlah ledakan petir yang kutakutkan
Tetapi tusukan duri yang menyeringai jalanku
Petir menyambar menghamburkan panorama mata
Duri menusuk melubangi daging-daging
Tak terlihat mata tapi pedih terasa

Sayapku pilu jika tertikam runcingnya
Pelan tapi meyakinkan, dagingku robek dan pecah
Tanpa terbekas goresan luka menganga
Namun sakitnya sungguh membusukkan mata

Dalam getiran ini aku ingin terbang
Melintas langit tujuh rupa tanpa kata
Biarkan burung-burung manyar itu bercerocoh mencariku
Mondar-mandir dalam kebisingan senja
Berputar dalam galaksi kediriannya

Jika waktu telah berutar ke barat
Tentu mereka tahu arti keinginanku
Aku adalah pencari kata
Dibalik jelujur ayat-ayat alam
Satu demi satu kupandangi
Karya Tuhan yang maha Tinggi   
Tak satu pun mereka bersedih hati

Apakah itu syair cinta yang melantunkan bait harapan
Ataukah bayangan semu yang siap menerkam
Aku pun masih terbuai dalam kebimbangan

                                Hasyim Asy’ari, 15 Des 09  

VIII
Jelujur-jelujur hujan membelah arah angin
Dari balik awan putih meluncur laksana tombak
Hujan adalah panorama kepastian
Pertanda hidup akan basah oleh kegalauan

Akankah hujan ini membebani sayap-sayapmu
Karena runcingnya pedang terwakilkan olehnya?

Tidak!
Hujan bukanlah malaikat maut
Ia hanya secuil gerigi dari keterasingan diri

Hujan menjadi tanda
Bahwa manusia mencari yang Esa
Tapi hujan juga bisa menjelma
Dan mengubur kedirian kita

                                Yogyakarta, 11 Januari 2010



Malam Cinta

Daun-daun berguguran menyebut namamu
Mereka tak kuasa menahan rindu ingin bertemu
Bagai malam-malam panjang menanti musim cinta
Dawainya syahdu menari indah gemulai

Inilah malam impian
Sang kekasasih dahulu di isra’kan
Dari bumi menuju kehadirat-Nya

Tiadalah kedukaan datang
Bagi bumi yang kian lajang
Awan-awan bersuka ria di cakrawala
Angin menunda badainya
Burung pipit membaguskan kicaunya

Semua merasa bahagia
Bersama malam cinta   

                                Hasyim Asy’ari, 25/09/09

Telapak Jiwa

Telah kutelusuri
Sungai-sungai kehidupan
Sepanjang jelujur alam

Ketika telah berlalu
Sepertiga dari umurku
Belum kutemukan telaga kejernihan
Sesak dengan air kearifan

Aku memimpikan
Halaqah-halaqah panjang
Penuh ramai gemerlap keilmuan
Dari bilik pesantren
Ingin kudengar nyanyian
Bait-bait alfiyah dan wiridan
Dari bukit mercusuar
Gemerlap universitas berpendar
Syarat dengan diskusi-diskusi tenar
Atau dari barisan kaum muda
Ingin kudengar gaungnya

Ah…
Ada-ada saja
Jangan kau mengigau
Seperti katak yang ingin terbang
Semua hanya sebatas mimpi
Berada dalam tabir kosong ruhani
Kalau tidak mawas diri
Jasadmu terpendam dalam ilusi

Tapi benarkah…
Tak bisa kutemukan
Setitik air kejernihan
Dari samudra ke-Esa-an
Akan ku tumpahkan
Dalam batin harapan
Menghilangkan haus kegelisahan

Ketika batinku ingin berkelana
Jiwaku kosong dari arah jalannya
Akan kemana kulangkahkan keinginan
Atau harus terkubur
Dalam badai angan-angan 
                       
                        Hasyim Asy’ari, 4 Maret 2010


Tembang Perpisahan


    Kepadamu merpati putih
    Di taman bunga-bunga

Angin dari timur mengabarkan salam
Pertanda insan mengobarkan doa
Teruntukmu manusia sahaja

Suatu kala kita bertemu
Dalam jamuan persaudaraan
Asyik dengan canda tawa

Kau hiasi hidupku
Dengan permadani penuh pesona  
Hingga mengalir cucuran makna
Dari keriputnya cita-cita

Suatu hari itu pasti datang
Tembang perpisahan antara dua insan
Detik kepastian menuju kedirian
Telah terbuka lebar

Kawan, sungguh
Bukan perpisahan ini yang kusesalkan
Tapi ke-tercerai-an yang kutakutkan
Perpisahan menyisakan
Dendang rindu penuh cinta
Ke-tercerai-an menyisakan
Nada dendam penuh luka 

Jikalau engkau musafir cinta
Kita menempuh jalan berbeda
Hanya harapku jua
Kelak berjumpa di ujung yang sama

Jangan kau menyerah pada bayang-bayang
Tunjukkan bahwa kita punya cita-cita

Semoga sukses
Wahai mahkota impian
Ayah dan Ibu membentangkan harapan
Semoga hidupmu berguna
Di hari ini dan akan datang,
Amin… 

                            Hasyim Asy’ari, 9 Maret 2010

Senin, 04 Januari 2010

Prinsip Kenegaraan Rasulullah SAW

Pilpres 2009 telah usai dilaksanakan. Kini, tiba gilirannya untuk menanti siapa pemimpin yang akan menakhodai bangsa ini. Semoga saja pemimpin yang baru akan membawa wajah baru bagi kehidupan berbangsa. Beban berat yang selama ini ditanggung oleh republik ini semoga segera teratasi sehingga tampak senyum kebahagiaan di wajah ibu pertiwi.

Siapa pun pemimpinnya, ia haruslah mampu mewujudkan janji-janji yang sejak kampanye kemarin digembar-gemborkan. Amanah terhadap kepemimpinan menjadi keniscayaan agar bangsa ini lebih maju dan rakyat lebih sejahtera. Tidak dibenarkan jika pemimpin bersikap otoriter dan mendustai segala janji serta harapan bangsa. Pengalaman pahit bangsa ini telah memberi pelajaran berharga bahwa otoritarian hanya akan membawa luka berkepanjangan.

Saat ini telah sepuluh tahun lebih reformasi bergulir. Tentu saja banyak perubahan yang terjadi di sana-sini. Namun, bandul perubahan tampaknya bergerak ke kutub negatif. Banyak silang sengkarut yang makin tak karuan. Demokrasi sudah menjadi democrazy, pemerintahan korup semakin menjadi-jadi, kejahatan para mafia berdasi semakin tak terkendali, dan rakyat masihlah berdiam di tengah kehampaan.

Di tengah kondisi chaos ini, yang dibutuhkan adalah seorang pemimpin yang benar-benar kredibel dan militan. Pemimpin yang pantang menyerah dan benar-benar amanah. Bukan pemimpin yang mudah terlena dengan tahtanya dan melupakan kewajiban. Islam telah memberi referensi tentang figur pemimpin yang sukses. Adalah Rasulullah SAW, pemimpin yang diakui oleh berbagai pihak, yang telah mampu membawa bendera Islam tegak berdiri dan kokoh, tak mudah roboh. Dalam waktu 23 tahun, Rasul telah menapaki jejak gemilang. Terbukti, Islam yang posisinya minoritas karena lahir di Arab mampu berkembang ke seluruh penjuru dunia hingga saat ini.

Kepemimpinan Rasul
Kepemimpinan Rasul adalah kepemimpinan tersukses sepanjang sejarah. Tak heran jika penulis Barat, seperti Michael H Hart, begitu mengaguminya. Dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, Resived and Updated for the Nineties, New York: Citadel Press Book, 1992, Michael menempatkan Rasulullah sebagai peringkat satu dari seratus tokoh. Alasannya sederhana, ”Saya memilih Muhammad sebagai orang nomor satu yang paling berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan pembaca dan mengundang pertanyaan berbagai pihak. Akan tetapi, menurut saya, hanya dia-lah lelaki dalam sejarah yang benar-benar sukses, baik sukses di bidang keagamaan maupun sukses di bidang duniawi.”


Pengakuan Michael memang tak berlebihan karena Rasul benar-benar tipe pemimpin yang sukses. Tak hanya ia yang bersikap seperti itu. Penulis buku The Genuine Islam, George Bernard Shaw juga memberi pengakuan akan kekagumannya. Ia menulis, ”Saya telah menyelidiki secara saksama laki-laki yang menakjubkan ini. Dalam benak saya, ia (Muhammad) jauh dari sikap anti-Kritus. Bahkan, dia harus dijuluki sebagai penyelamat kemanusiaan.”

Pengakuan para penulis Barat tentang keunggulan Nabi Muhammad SAW jelas akan semakin menambah ketebalan iman umat Islam di Indonesia atau dunia untuk meniru jejak langkahnya. Apalagi, bangsa ini baru saja menggelar pesta demokrasi. Adalah suatu keniscayaan bagi pemimpin bangsa yang terpilih untuk meniru jejak langkah sang Nabi. Pola kepemimpinan yang telah diterapkannya merupakan cermin bagi keberhasilan dan kemajuan bangsa.

Prinsip Kenegaraan
Dalam buku Hayatu Muhammad karya Muhammad Husein Haikal dan juga dalam buku-buku sejarah Nabi yang lainnya, banyak disebutkan tentang prinsip-prinsip kenegaraan yang diterapkan oleh Rasul ketika beliau menjadi pemimpin di Madinah. Prinsip-prinsip itu sebagai berikut. Pertama, persaudaraan dan persahabatan. Setibanya Rasul di Madinah, beliau langsung membangun solidaritas kebangsaan di antara kaum Muhajirin dan Ansar. Beliau banyak mempersaudarakan para sahabatnya, di antaranya Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid, Umar bersaudara dengan Itban bin Malik al-Kharaji, Hamzah bersaudara dengan Zaid bekas budaknya, dan masih banyak yang lain.


Adapun dengan kaum Yahudi, seperti Bani Nadir, Bani Kainuqa, Bani Quzaifah, dan Bani Khaibar, Rasul menjalin persahabatan. Perjanjian antara ia dan kaum Yahudi pun dibuat yang intinya bekerja bersama-sama menjaga keutuhan negara Madinah dengan saling menghormati, menghargai, dan tidak saling menyakiti.

Prinsip yang dibangun Rasul ini sangat efektif untuk mempersatukan kaum Muhajirin dan Ansar sehingga mereka bahu-membahu dan kompak dalam satu cita-cita. Juga terhadap kabilah Yahudi saat itu, Rasul mampu mengajak kerja sama. Jika saja pemimpin Indonesia yang baru saja terpilih mampu menjalin solidaritas yang hangat dengan rakyatnya, tanpa memandang suku, agama, ras, dan budaya, tentu keutuhan NKRI akan mudah terjaga. Aksi separatisme yang masih marak, seperti di Irian Jaya atau kasus serupa GAM, tentu tidak lagi muncul.

Kedua, membangun perekonomian. Berkat persaudaraan yang telah digariskan Rasul, pintu perekonomian juga terkena imbasnya. Kaum Muhajirin yang saat datang ke Madinah tidak membawa bekal apa pun segera memperoleh pekerjaan. Abu Bakar, Umar, dan Ali, misalnya, begitu ke Madinah mereka segera memperoleh garapan sawah dari kaum Ansar. Adapun Abdurrahman bin Auf bisa memainkan roda perekonomiannya di pasar berkat jasa Sa’d bin ar-Rabi. Berkat adanya pintu perekonomian ini, kaum Muslim mampu menikmati kesejahteraan (welfare) dan enjoy (menikmati) hidup.

Semestinya, seperti inilah para pemimpin kita bertindak. Kesejahteraan sosial (social welfare) menjadi fokus utama yang harus dipikirkan dan diberikan. Bayangkan saja, betapa masih banyak warga miskin yang menghuni negeri ini. Pada 2008, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa jumlah penduduk miskin adalah 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk Indonesia. Data itu pun masih banyak diperdebatkan karena data disusun sebelum kenaikan BBM. Angka kemiskinan yang masih menggelembung ini jelas mengharuskan seorang pemimpin untuk menciptakan policy (kebijakan) yang tepat agar kemiskinan segera teratasi.

Dua prinsip kenegaraan yang dibekalkan Rasul di atas jika mampu diimplementasikan oleh presiden yang baru saja terpilih, tentu akan membawa kemaslahatan bagi bangsa ini. Dan, tentu masih banyak prinsip yang lain, seperti toleransi, kerja sama, keadilan, gotong-royong, dan lainnya. Semua itu adalah mutiara berharga yang semoga mampu dijadikan referensi bagi para pemimpin bangsa.

* Dimuat di REPUBLIKA, Kamis, 09 Juli 2009
Oleh : Fatkhul Anas

Capres Kaya di Tengah Bangsa Miskin

Ketika tim KPK mengaudit kekayaan para capres, banyak hal mengejutkan ditemukan. Keterkejutan itu karena kekayaan semua capres meningkat drastis. Capres yang paling bertambah hartanya adalah Megawati, disusul Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono. Harta Yusuf Kalla dari yang semula Rp 253,91 miliar naik Rp 50 miliar sehingga menjadi Rp 303 miliar. Megawati dari Rp 86,26 miliar naik Rp 60 miliar sehingga menjadi Rp 146 miliar. Sedangkan SBY dari Rp 7,14 miliar naik Rp 1,78 miliar sehingga menjadi Rp 8,92 miliar (Republika, 20/05/09).

Kenaikan harta capres tentulah sebuah ironi bagi negeri ini. Karena di pelosok-pelosok sana kaum papa masih terlunta-lunta. Kemiskinan yang mendera mereka tak kunjung menemukan "obat mujarab" sehingga semakin menjadi-jadi. Mereka yang tak mampu bekerja dan yang sudah bekerja tetapi sekadarnya, sungguh sedang membutuhkan uluran tangan untuk disejahterakan.

Lihat saja jumlah angka kemiskinan di Indonesia yang masih cukup tinggi. Jumlah penduduk miskin tahun 2008 yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk Indonesia. Data itu pun masih banyak diperdebatkan karena data disusun sebelum kenaikan BBM. Belum lagi jika ditambah dengan angka pengangguran yang masih cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penganggur pada Februari 2008 telah tercatat sebesar 9,43 juta orang.

Kesejahteraan Sosial
Angka pengangguran yang cukup tinggi tentu mempertinggi pula angka kemiskinan. Dan ini adalah sebuah fakta yang harus diterima oleh bangsa. Bukankah sangat ironis ketika kemiskinan masih meraja lela, sementara para pemimpin bangsa berlomba-lomba memupuk kekayaan? Semestinya, para capres itu sedih melihat kondisi bangsanya karena dirinya kaya sementara bangsanya miskin. Ini artinya, para capres sudah semestinya tergerak hatinya untuk berusaha mensejahterakan rakyat jika mereka nantinya terpilih menjadi pemimpin. Jadi sejak saat ini rumusan tentang kesejahteraan sosial (social welfare) harus sudah dipikir matang-matang.

Memang, para capres sedang gencar-gencarnya mempromosikan "resep" ekonomi masing-masing. Namun hal itu belum tentu sebuah kesadaran penuh untuk mensejahterakan rakyat. Bisa jadi karena kepentingan politis yaitu pemilu presiden 2009. Sementara rakyat benar-benar membutuhkan kesejahteraan sosial. Rumusan kesejahteraan siosial itu sendiri, sebagaimana digambarkan James Midgley (1997:5) adalah suatu kondisi yang harus memenuhi tiga syarat utama yaitu ketika masalah sosial dapat dimenej dengan baik, ketika kebutuhan terpenuhi, dan ketika peluang-peluang sosial terbuka.

Jika salah satu dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka menurut Ricard Timuss (1974) yang akan muncul adalah social illfare (ketidaksejahteraan sosial). Adapun versi lain tentang kesejaheraan sosial adalah sebagaimana dalam UU tentang Kesejahteraan Sosial yang baru disahkan pada 18 Desember 2008 sebagai pengganti terhadap UU No 6 tahun 1974. Di sana disebutkan bahwa "Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri.

Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan sosial tersebut, diperlukan adanya kebijakan sosial. Dalam tataran inilah para capres dituntut untuk menelurkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan sosial jika mereka menjadi pemimpin. Karena itu, capres dituntut sejak dini untuk merumuskan kebijakan sosialnya. Kebijakan sosial itu sendiri menurut Huttman adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.

Metode Kebijakan Sosial
Kebijakan sosial yang selama ini berjalan, rata-rata dilakukan dengan tiga metode. Pertama, berupa program pelayanan sosial yang secara langsung dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Kedua, upaya untuk menyejahterakan warga negara dengan produk perundang-undangan (statutory regulation). Dan ketiga, peningkatan kesejahteraan dengan menggunakan sistem pajak (Miftachul Huda:2009:89). 

Selama ini, pemerintah telah berusaha memberlakukan ketiga metode diatas seperti penetapan UMR, penarikan pajak untuk pembangunan sosial, BLT dan lainnya. Terlepas dari kritik para ahli, kebijakan tersebut sesungguhnya ditujukan agar kesejahteraan sosial mampu terwujud dengan sesungguhnya.

Berhubung Indonesia sebentar lagi akan mengadakan pilpres, maka para capreslah yang semestinya memikirkan agenda kebijakan sosial yang akan mereka terapkan nanti. Dan hal ini bukanlah sebuah tugas yang ringan. Perlu perenungan yang mendalam. Kalau menganggap enteng, bisa jadi resep kebijakan yang akan diterapkan tidak akan mujarab alias tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi jika para capres sibuk menumpuk kekayaan dan lupa dengan tugas utama mereka. Bukanlah kesejahteraan sosial yang akan didapat tetapi social illfare (ketidaksejahteraan sosial).

Untuk itu, para capres dituntut memiliki iktikad kuat untuk memperjuangkan nasib rakyat serta untuk tidak korupsi. Saat ini saja sudah kaya, jadi tidak dibenarkan menumpuk kekayaan dengan jalan korupsi. Korupsi hanya akan menyengsarakan rakyat dan akan mencederai etika berdemokrasi. Dalam demokrasi sebagaimana menurut pengamat politik J. Kristiadi (2008), diperlukan pemerintah yang terbuka dan bertanggung jawab. Bentuk pertanggung jawaban tersebut salah satunya diwujudkan dengan bertanggung jawab menjaga amanat rakyat. 

Maka, pemimpin yang korupsi jelas ia tidak bertanggung jawab terhadap amanah rakyat. Karena itu, adanya pemimpin yang amanah menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kesejahteraan sosial. Bukan para pemimpin yang pandai korupsi dan menumpuk kekayaan. 

* Dimuat di Suara Pembaruan, 9 Mei 2009
Oleh : Fatkhul Anas


Isra Mi’raj dan Kesejahteraan Sosial

Di tengah kegembiraan bangsa yang telah usai menyelenggarakan Pilpres 2009, umat Islam masih mampu berjumpa dengan Isra Mi’raj. Adalah rasa syukur sebesar-besarnya yang mampu dipanjatkan ke hadirat Tuhan. Karena pada momentum yang istimewa ini, umat Islam masih diperkenankan untuk menatap indahnya dunia dengan seutas senyum keceriaan. Tentu saja, masjid-masjid ramai dipenuhi kalimat-kalimat dakwah, syiar, lantunan shalawat, zikir, dan doa. Inilah Isra Mi’raj yang menjadi pintu Nabi untuk mendapat perintah shalat lima waktu. 

Momentum Isra Mi’raj kali ini begitu berharga karena baru saja pilpres dilaksanakan. Setidaknya, presiden yang baru saja terpilih bisa memetik buah kearifan dari suri teladan sejati, Rasul pilihan Ilahi. Menjadi sebuah keniscayaan bagi pemimpin bangsa untuk mengambil ibrah (pelajaran), serta contoh-contoh sifat, sikap, maupun tutur kata Nabi. Beliau adalah cahaya umat sekaligus muara percontohan.

Dalam kitab Adabu al-Alim Wa al-Muta’allim , KH Hasyim Asy’ari menuturkan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah mizanul akbar. Darinya, kita disodorkan segala sesuatu mulai dari akhlaknya, sejarah beliau, serta petunjuknya. Segala sesuatu yang sesuai dengan itu maka itulah kebenaran. Ada pun yang bertentangan maka ia adalah batil. Keterangan ini adalah satu dari sekian banyak bukti keagungan Nabi.

Pesan Isra Mi’raj
Nabi sendiri memanglah manusia biasa. Namun, ia diberi wahyu oleh Allah (QS 18: 110). Karena beliau juga manusia biasa, kita yang juga manusia biasa tentu mampu mencontohnya. Termasuk dalam hal ibadah, Nabi menjadi panutan. Apalagi, ibadah shalat yang merupakan tiang agama, hanya kepadanya kita meniru agar tidak terjadi bid’ah. Shalat yang diterima Nabi saat beliau Isra Mi’raj, adalah titik spiritualitas yang menurut Sayyed Hossein Nasr dalam buku Islam: Religion, History, and Civilization memungkinkan integrasi keberadaan seorang hamba Allah dalam keadaan pengabdian seutuhnya kepada Tuhan.

Karena, menurut ahli-ahli iman dan ihsan, aktivitas shalat adalah media penting bagi perjalanan naik menuju singgasana Tuhan berdasar pada salah satu riwayat hadis Shalat adalah salah satu perjalanan pendakian spiritual orang yang beriman (ash-shalat mi’raj al-mu’min) . Itulah pentingnya shalat bagi umat Islam sehingga wajar jika untuk mendapatkannya Nabi harus naik ke Sidratul Muntaha.

Pesan shalat adalah adalah titik terpenting yang Nabi dapatkan saat Isra Mi’raj. Meski bukan hanya itu saja pesannya, Isra Mi’raj juga mengandung pesan-pesan kemanusiaan. Terbukti dari sejarah, datangnya shalat membawa dampak positif bagi umat Islam. Meski saat Nabi Mi’raj banyak Muslim Makkah yang kafir karena tak percaya, di balik itu muncul tokoh-tokoh dengan keimanan kuat. Abu Bakar adalah contoh terdekat sehingga ia dijuluki as-sidiq.

Seusai Nabi menerima perintah shalat, tak terasa Islam tersebar luas ke wilayah Yasrib (Madinah). Betapa wajah Nabi saat itu ceria karena di Makkah ia tidak mendapatkan tempat, namun di Yasrib dijadikan panutan. Segera ia bersama umat Islam hijrah dan membangun Negara Islam di sana. Di sinilah pesan berharga Isra Mi’raj bahwa shalat sebagai kesalehan pribadi harus menjadi fondasi bagi kesalehan sosial. Jadi, tidak semestinya jika umat Islam hanya terhenti pada shalat semata, namun melupakan nilai-nilai sosial.

Kesejahteraan
Pesan kemanusiaan yang begitu berharga ini, sudah semestinya mampu diaplikasikan oleh umat Islam Indonesia, terlebih bagi presiden yang baru saja terpilih. Sebab, Nabi adalah kepala negara di Madinah. Saat itu, Nabi mampu membangun fondasi kehidupan yang baik, seperti aspek perekonomian. Itu dilakukan usai Nabi hijrah. Berarti, setelah Isra Mi’raj. Aspek yang digali Rasul untuk mendongkrak perekonomian di antaranya dengan pertanian dan perdagangan, yang saat itu menjadi mata pencaharian kaum Ansor.

Kaum Muhajirin yang tidak membawa bekal apa pun diberikan kesempatan untuk bekerja. Adalah Abu Bakar, Umar, dan Ali, yang diprioritaskan di bidang pertanian. Adapun Abdurrahman bin Auf, dalam bidang perdagangan (Muhammad Husain Haekal :1972). Berkat adanya pintu perekonomian ini, kaum Muslimin pun mampu menikmati kesejahteraan ( welfare ). Tidak lagi terlunta-lunta dan sengsara. Usaha Nabi sudah semestinya dicontoh para pemimpin.

Terlebih di Indonesia, jumlah kaum miskin makin menjadi-jadi. Data BPS menyebutkan, pada Maret 2009, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, berkurang 2,43 juta jiwa dibandingkan (hasil survei) Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen (dari total populasi). Data ini pun masih banyak digugat karena dinilai tidak valid.

Terlepas dari valid dan tidaknya, adalah keharusan pemimpin untuk menjamin kesejahteraan ( welfare ) dan keadilan ( justice ) bagi kaum miskin. Tidak dibenarkan membiarkan mereka terlunta-lunta. Islam mengecam orang-orang yang tidak mau serius mengusahakan makan (kebutuhan dasar) kaum miskin dan memberi lebel mereka sebagai ‘pendusta agama’ (QS Al-Ma’un). Amanat pancasila juga memberikan kewajiban pemimpin untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa.

Adapun keadilan sosial bagi John Rawls (1971) adalah adanya persamaan hak untuk menikmati seluas-luasnya seluruh sistem dari kebebasan dasar yang sama. Manusia dari golongan apa pun berhak untuk menikmati akses pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Dan, ketika ada ketimpangan ekonomi sehingga melahirkan kelompok kurang beruntung ( disanvantage group ), harus diatur sedemikian rupa sehingga kelompok tersebut masih diuntungkan.

Kalau pada negara kesejahteraan ( welfare state ), kaum miskin ditampung oleh negara dengan diasramakan, diberikan akses, dan lainnya. Rasul pun pernah melakukan itu ketika menampung kaum miskin dari Makkah yang tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka ditempatkan di bangunan di selesar Masjid yang kemudian dikenal dengan suffah (bagian Masjid yang beratap). Sehingga, golongan itu diberi nama Ahlus Suffah (penghuni suffah ).

Karena Indonesia bukan murni negara kesejahteraan, penyediaan lapangan pekerjaan, pemberdayaan kaum miskin, bantuan, dan segala program pengentasan kemiskinan menjadi keniscayaan. Semoga saja kali ini presiden yang baru terpilih mampu memperbaiki kinerjanya, sebagaimana produktivitas Rasulullah Saw setelah Isra Mi’raj.

* Dimuat di Republika, 17 Juli 2009
Oleh : Fatkhul Anas

ACEH PASCA-MOU HELSINKI



PADA15 Agustus 2005,peristiwa agung menyertai bumi Serambi Mekah,yaitu penandatanganan MoU antara GAM dan Pemerintah Indonesia di Helsinki,Finlandia.
Setelah penandatanganan MoU tersebut, Aceh berada dalam ”Beranda Perdamaian (Verandah of Peace)” setelah sekitar 30 tahun didera konflik. Stereotipe ”Serambi Kekerasan (Verandah of Violence)” yang dialamatkan untuk Tanah Rencong itu sudah tidak lagi menemukan tempat.
 
Aceh semenjak kesepakatan Helsinki hingga saat ini menjadi Aceh yang damai dan penuh warna cinta. Buku Beranda Perdamaian: Aceh Tiga TahunPascaMoU Helsinki menelusuri perjalanan perdamaian di Tanah Rencong itu. Melalui penelitian yang komprehensif, Ikrar Nusa Bhakti dan kawan-kawan dari P2P-LIPI berhasil menyelesaikan penelitian dengan hasil yang gemilang.
 
Semua penelitian itu tak lain demi kecintaannya pada bumi Aceh yang pada 15 Agustus 2008 ini merayakan pesta perdamaian tiga tahun pasca MoU Helsinki. Konflik Aceh dengan Pemerintah RI sesungguhnya telah berlangsung cukup lama. Namun konflik yang paling monumental terjadi setelah munculnya GAM.
 
De facto, GAM lahir pada 20 Mei 1977, tetapi Hasan Tiro, pencetus sekaligus pemimpin GAM, lebih memilih hari lahir GAM 4 Desember 1976—disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Latar belakang lahirnya GAM setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor berikut. Pertama, adanya perasaan kecewa terhadap pemerintah pusat yang mengeksploitasi kekayaan Aceh secara besar-besaran, sementara Aceh sendiri hanya diberi jatah 5 persen.
 
Tak heran jika Aceh merupakan provinsi miskin, meski memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah. Kedua, sikap sentralistis pemerintahan Orde Baru yang memberlakukan penyeragaman seluruh struktur pemerintahan lokal Aceh menyebabkan rakyat Aceh tidak mampu berkiprah secara leluasa. Meski telah diberi ”keistimewaan”, namun rakyat tidak diberi ruang untuk menggunakan keistimewaan itu. Ketiga, setelah GAM lahir, konflik di Aceh semakin panas. Mereka sering melakukan kontak senjata dengan tentara-tentara RI.
 
Gerakan GAM pun semakin berkembang dari sederhana menjadi kompleks. Awalnya pada 1976–1979 GAM hanya merupakan kelompok separatis kecil yang didirikan oleh 70 cendekiawan yang tersebar di kampung Hasan Tiro, Pidie. Gerakan ini dapat dipadamkan dengan operasi intelijen militer yang memaksa Hasan Tiro melarikan diri ke Swedia pada 1979. Pada kurun 1999–2005, GAM semakin populer di tanah Aceh karena beberapa faktor.
 
Penggelaran kembali operasi militer,kegagalan Kesepakatan Jeda Kemanusiaan, Penghentian Permusuhan (CoHA) antara GAM dan Pemerintah RI, dan kegagalan pemerintah dalam menerapkan status otonomi khusus di Aceh (hlm 15). Untuk merenda perdamaian GAM dan Pemerintah RI, telah dikeluarkan berbagai macam kebijakan. Sejak Soeharto turun tahta, kebijakan dari para elite Jakarta terus bergulir.
 
Namun, tak satu pun kebijakan itu menuai hasil yang diinginkan. Baru pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) perjanjianperdamaiandapatsepenuhnya disepakati kedua belah pihak, ketika ditandatangani MoU pada 15 Agustus 2006.
 
Berlandaskan MoU tersebut, pemerintah mengintegrasikan mantan anggota GAM ke dalam masyarakat, memberi bantuan ekonomi,serta memberi kesempatan dalam pilkada. Sejak momen itu bergulir, nuansa damai di Aceh semakin tampak.Rakyat Aceh, terutama GAM,tidak lagi memberontak.
 
Mereka telah hidup dalam masyarakat yang rukun dan tenteram.Namun,bukan berarti nuansa damai itu tidak melahirkan persoalan baru. Banyak persoalan bermunculan di seputar kehidupan masyarakatAceh. Persoalan yang sangat menonjol adalah korupsi birokrasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah Aceh. Budaya KKN semakin bermunculan seiring maraknya korupsi di Tanah Air.
 
Jaminan kesejahteraan bagi para mantan GAM juga semakin bermasalah. Banyak mantan GAM yang nasibnya terluntalunta karena tidak memiliki pekerjaan. Banyak pula warga sipil di pedesaan yang dulu pernah terkena imbas Daerah Operasi Militer (DOM) tidak diperhatikan kesejahteraannya. Selain itu, sekat kecurigaan antara TNI dan GAM masih belum mampu dihilangkan (hlm 381). Sekian persoalan tersebut saat ini sedang menjuntai di bumi Aceh.
 
Meski demikian, masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya patut bersyukur karena beranda perdamaian telah mampu disemai. Kini masyarakat Aceh mampu menikmati hidup dalam ketenteraman tanpa dibayang-bayangi rasa waswas akan adanya teror. Buku ini memberikan gambaran bagaimana hasil nyata perdamaian Aceh kini sudah mulai terlihat.
 
Selain itu, buku ini juga mengingatkan,baik kepada pemerintah pusat maupun pemerintah NAD, agar tetap serius merajut perdamaian lewat aksi-aksi nyata untuk menyejahterakan rakyat Aceh.(*)
 

* Dimuat di Seputar Indonesia, 9 Agustus 2009
Oleh : Fatkhul Anas


Banjir Darah di Timor Timur


Pembantaian Timor Timur; Horor Masyarakat Internasional
Judul : Pembantaian Timor Timur; Horor Masyarakat Internasional
Penulis: Joseph Nevins
Penerbit : Galang Press
Tahun: 2008
Genre : Sejarah
Tebal: 375 Halaman
ISBN: 978-602-8174-05


Dahulu wilayah Timor Timur sempat menjadi provinsi termuda di Indonesia. Namun, setelah jajak pendapat dan banyak warga yang menghendaki lepas dari wilayah NKRI, Timor Timur akhirnya memilih menjemput kemerdekaannya. Tepat pada 20 Mei 2002 Timor Timur menghibarkan bendera kemerdekaan setelah penyerahan pemerintahan oleh UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor – Pemerintahan Peralihan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur) kepada Kepala Pemerintahan terpilih.
Selepas merdeka, bangsa Timor Timur sedikit bernafas lega. Kebebasan, perdamaian, ketenangan, serta harapan-harapan menatap masa depan mulai terpancar dari wajah-wajah anak-anak bangsa. Namun, sesekali hela nafas mereka diselimuti kecemasan, perasaan takut, serta trauma yang mendalam. Mereka begitu tercekam perasannya ketika teringat peristiwa masa lalu. Darah membanjir, nyawa melayang, jeritan tangis anak-anak dan wanita memecah kesunyian, beribu rumah dibakar, dan beribu orang mencari perlindungan. Timor Timur benar-benar dalam penderitaan. Dan keadaan itu terus berlanjut sampai saat mereka menerobos lorong kemerdekaan.
Tragedi yang begitu pilu dan mengiris jiwa sehingga tak sepatah kata pun mampu mengungkap kegetirannya akan dikupas tuntas dalam buku ini. Buku dengan judul Pembantain Timor Timur; Horor Masyarakat Internasional yang ditulis Joseph Nevins ini adalah sebuah rekaman sejarah yang diperoleh penulisnya lewat penelusuran panjang. Joseph Nevins rela menghabiskan waktunya untuk menelusuri lorong-lorong, gang-gang, serta jalanan lengang di Timor Timur untuk mencatat fakta dan mencari sejarah. Ia juga mendatangi sejumlah rumah, gereja, dan tempat-tempat yang pernah terluka serta melakukan wawancara dengan sejumlah penduduk kampung untuk mencari keterangan. Bahkan tak segan-segan ia menelusuri sumber-sumber data Internasional dari perwakilan PBB yang ada di sana.

Tragedi Berdarah
Semenjak Timor Timur lepas dari cengkeraman Portugis, aroma kecemasan tidak seketika berakhir. Timor Timur harus menghadapi sejumlah agenda kekejaman dari para tentara Republik Indonesia. Terbilang, kekejaman yang paling banyak membawa korban adalah periode September-Oktober 1999. Periode ini adalah masa di mana Timor Timur melakukan jajak pendapat. Awalnya, jajak pendapat dilakukan setelah Presiden BJ. Habibie mengeluarkan sebuah referendum pada 27 Januari 1999. Dalam referendum tersebut BJ. Habibie menawarkan dua opsi yaitu memberikan otonomi khusus atau melepas Timor Timur dari NKRI.
Setelah referendum dikeluarkan, pada 4 September 1999 hasil jajak pendapat diumumkan. Ternyata 78,5% dari 98% rakyat Timor Timur yang memberikan suara, menyatakan memilih merdeka dan lepas dari wilayah NKRI. Hal ini membuat pihak RI kebakaran jenggot. Aksi kekerasan akhirnya terjadi di mana-mana. Terhitung mulai dari pembunuhan, pembumi-hangusan, penjarahan, penyiksaan, pengungsian besar-besaran sampai aksi pemerkosaan banyak dilakukan oleh TNI dan para milisi (pasukan bentukan TNI) terhadap rakyat Timor Timur. Mereka juga sering melakukan pembantaian massal tanpa ampun. Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Timor Timur yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melaporkan setidaknya lebih dari seribu orang pada kurun waktu September-Oktober 1999 yang menjadi korban pembunuhan.
Di awal April dan akhir September 1999, banyak orang Timor Timur mengalami luka akibat serangan milisi, khususnya di wilayah Covalima, Bobonaro, Ermera, Liquiça, dan Dili. Laporan dari FOKUPERS juga menyebut ada 182 kasus pelanggaran hak asasi manusia berdasar gender. Kasus ini meliputi perkosaan, penculikan, dan beberapa kasus perbudakan. Keadaan juga semakin parah ketika 250.000 orang Timor Timur dipaksa diangkut ke Indonesia, sebagian besar ke wilayah Timor Barat. Mereka tidak boleh pulang ke kampung. Jika ada yang membangkang, nyawa siap melayang. Nasib tragis serupa juga menimpa lebih dari 200.000 orang Timor Timur. Mereka dipaksa melarikan diri ke gunung-gunung. Praktis kelaparan segera menjadi jurang maut karena masa itu adalah masa kemarau. Sangat sulit ditemukan makanan alami. Akhirya pelan-pelan mereka pun mati mengenaskan (hal 149).

Timor Timur Setelah Merdeka
Baru pada 20 Mei 2002 rakyat Timor Timur sedikit bernafas lega. Setelah UNTAET menyerahkan pemerintahan Timor Timur kepada Kepala Pemerintahan terpilih, Timor Timur mulai melakukan pembenahan diri. Namun, sampai sejauh itu Timor Timur belum mampu menikmati kebahagiaan. Aroma traumatis serta kepedihan yang mendalam masih menusuk jantung kegembiraan masyarakat. Bekas-bekas penganiayaan, pembunuhan massal, serta porak-poranda rumah-rumah penduduk masih menjadi teror mencekam di malam maupun siang hari. Kondisi ekonomi yang belum stabil menjadikan negeri itu kampung para pengemis yang setiap hari harus mengais rizki dari bantuan kemanusiaan. Luka yang masih menganga ditubuh para korban kekerasan, pemerkosaan, serta penganiayaan juga masih menyisakan trauma berkepanjangan.
Terlebih masyarakat Internasional yang juga tidak sepenuhnya peduli dengan Timor Timur, menjadikan luka di negeri itu bertambah menganga. Masyarakat Internasional ternyata lebih mencari ajang di muka dunia agar disebut sebagai pahlawan penegak HAM dari pada memikirkan nasib Timor Timur. Pada akhir 2002 misalnya, Presiden Amerika Serikat Jimmy Charter mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian. Padahal dialah yang datang ke Jakarta untuk memberikan bantuan pesenjataan serta membantu TNI membunuh puluhan ribu orang Timor Timur pada akhir dasawarsa 1970-an. Lebih parah lagi Australia. Setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, agenda-agenda eksploitasi sumber daya alam dikucurkan dengan lancarnya. Tanpa ada pihak yang menghalangi aksi pencurian itu (hal.281).
Nasib Timor Timur memang begitu Tragis. Semenjak dahulu belum pernah ada kesempatan untuk menikmati sejenak keindahan udara pagi. Setiap hari dan setiap waktu hanya ada tangisan kepedihan yang mengiringi. Kelaparan, gizi buruk, pengangguran, wabah penyakit, masih menjadi makanan sehari-hari mereka. Akankah nasib Timor Timur akan seperti itu selamanya?

* Dimuat di Koran Jakarta,
Oleh : Fatkhul Anas

Mencari Tafsir Baru Pancasila


 

Bangsa ini pernah menderita "luka mendalam" akibat Pancasila yang disalahtafsirkan. Ketika Orde Baru, Pancasila menjadi alat melanggengkan kekuasaan. Orde Baru menafsirkan tunggal terhadap Pancasila, melalui Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4). Barang siapa yang memberikan tafsir lain terhadap Pancasila dan berideologi lain, dianggap anti-Pancasila dan patut dimusuhi.
 

Akibatnya, Pancasila menjadi "musuh" bagi mereka yang kontra terhadap rezim. Setelah rezim Orde Baru, membicarakan Pancasila merupakan suatu "keengganan" karena terkesan mendukung rezim tersebut. Pancasila menjadi sesuatu yang tabu, kotor, dan tak pantas diucapkan. Padahal, Pancasila bisa menjadi alat pemersatu bangsa. Buku karya As'ad Said Ali yang berjudul Negara Pancasila; Jalan Kemaslahatan Berbangsa ini hadir dalam rangka memberikan prespektif baru terhadap Pancasila.
 

Buku ini memotret bagaimana sejarah, perjalanan, dan kedudukan Pancasila mulai dari lahirnya sampai saat ini. Buku ini menjelaskan bahwa lahirnya Pancasila bukanlah tercipta sebagai sebuah ideologi. Pancasila tak lain berfungsi sebagai kontrak sosial atau semacam kesepakatan bersama di antara para tokoh yang merupakan wakil dari seluruh wilayah Indonesia untuk menciptakan persatuan. Mengingat wilayah Indonesia saat itu sudah kompleks dengan beragam suku, agama, dan ras, dibutuhkan alat pemersatu yang bisa diterima semua pihak.
 

Lahirnya Pancasila tidaklah taken for granted, tetapi melalui proses perdebatan panjang dan melelahkan. Para tokoh-tokoh BPUPKI masing-masing memunyai usulan yang berbeda. Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikoesoemo mengusulkan negara berdasar Islam, Soekarno mengusulkan Pancasila (tetapi bukan Pancasila seperti sekarang), Soepomo mengusulkan negara intergralistik, sedang Hatta mengusulkan negara berdasarkan persatuan. Semua usulan itu lalu ditampung dan dituangkan dalam sebuah kesepakatan bersama yang disebut dengan Pancasila (hal 166).
 

Ulah Orde Baru yang "menodai" Pancasila menjadikan bangsa ini kehilangan pegangan yang bisa mempersatukan semua golongan. Saat ini, bangsa ini telah terkotak-kotak ke dalam beragam ideologi yang saling tumpang tindih. Belum lagi ideologi berbasis agama yang rata-rata datang dari Timur Tengah maupun gerakan fundamentalisme Kristen, juga turut meramaikan perhelatan bangsa yang masih terkatung-katung ini.
 

Saat ini Indonesia benar-benar layaknya pasar ideologi. Antara satu dan yang lain bersaing memperebutkan satu "konsumen", yaitu bangsa dan negara Indonesia. Lalu, di mana Pancasila di saat seperti ini? Adakah ia mati tertelan zaman sehingga tidak mampu memfilter ideologi-ideologi pendatang? Buku ini mencoba menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Pancasila sudah semestinya dijadikan kembali sebagai pegangan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pegangan hidup dalam hal ini bukanlah pedoman hidup karena pedoman hidup bagi Indonesia adalah agama. Pegangan hidup adalah alat untuk mempersatukan wilayah, cita-cita, serta tujuan bangsa dan negara Indonesia.   

* Dimuat di Koran Jakarta, 16 April 2009

Peresensi adalah Fatkhul Anas

Nasib Sastra di Bangku Sekolah

Beberapa waktu lalu, Maman S. Mahayana, pengamat sastra dari Universitas Indonesia, memberikan pernyataan bahwa sastra makin terpinggirkan dari bangku sekolah (Kompas, 13-10). Pernyataan Maman ini jika diukur dari realita yang ada memang benar adanya. Sastra saat ini mengalami marginalisasi dari dunia pendidikan. Geliat untuk mempelajarinya hanya sekadar "sambilan". Bukan atas dasar suka, melainkan tuntutan mata pelajaran. Jika sang guru tidak memberi pelajaran sastra tentu si murid tidak menanyakannya. Dia acuh saja. Seolah sastra tak penting.
Nasib sastra di bangku sekolah memang sedang mengenaskan. Ibaratnya sastra hanyalah pelajaran pelengkap. Sekadar tahu, bukan untuk didalami, apalagi dijadikan hobi.
Pelajaran sastra yang biasanya digabung dengan bahasa Indonesia masih kalah pamor dengan pelajaran lain, terutama ilmu-ilmu eksak. Ilmu eksak dianggap paling bergengsi, dan siapa yang menguasainya dianggap "orang pintar". Hanya ilmu eksak dan ilmu-ilmu sosial humaniora saja yang dianggap mampu mencerdaskan. Sedangkan sastra dianggap tak mencerdaskan dan tidak bermanfaat.


Imbas Kebijakan
Persepsi terhadap sastra yang demikian "buruk" sesungguhnya tidak terlepas dari kebijakan pendidikan yang diterapkan selama ini. Sebab, kebijakan pendidikan yang baik akan menentukan maju dan tidaknya pendidikan. Termasuk juga sastra.
Kebijakan pendidikan, menurut Mark Olsen, merupakan kunci keunggulan bahkan eksistensi bagi negara-negara dalam persaingan global. Sehingga, kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi. Karena kebijakan pendidikan yang mampu menentukan maju dan tidaknya anak didik, diperlukan kebijakan pendidikan yang tepat.
Terkait dengan sastra, mengapa semakin lama semakin termarginalisasi? Hal ini tak lepas dari kurang tepatnya kebijakan pendidikan yang diterapkan selama ini. Sejak Orde Baru, pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan perekonomian. Saat awal orde baru, perekonomian kita begitu buruk dengan tingkat inflasi yang demikian tinggi.
Dalam buku Kebijakan Pendidikan karya H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho dijelaskan setelah mengalami krisis kehidupan dalam era orde lama, masuklah bangsa Indonesia ke dalam era orde baru yang dimulai dengan upaya meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Perlahan-lahan kehidupan masyarakat mulai membaik, infrastruktur dibangun, dan pendidikan diabdikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Kebijakan era Orde Baru memang sangat efektif mengentaskan perekonomian. Namun, di salah satu sisi berakibat negatif. Terutama bagi pertumbuhan sastra. Selama Orde Baru pendidikan di-setting untuk mengentaskan perekonomian. Otomatis mata pelajaran yang menjadi unggulan saat itu adalah mata pelajaran yang berhubungan dengan perekonomian. Termasuk ilmu eksak. Dalam pekembangannya, ilmu eksak lebih diutamakan karena untuk menunjang teknologi dan industri.
Hal ini berakibat buruk bagi pelajaran yang lain karena semakin marginalnya mata pelajaran yang tidak ada hubungannya dengan teknologi dan industri seperti sastra. Pelajaran sastra tidak lagi menemukan tempat. Sastra dianggap tidak penting dan tidak mampu menyumbangkan kontribusi apa-apa. Sastra dipelajari hanyalah untuk mendukung pengembangan bahasa Indonesia agar tetap lestari. Akhirnya, sastra tidak menjadi pelajaran favorit, tetapi sebagai sampingan. Yang favorit mata pelajaran yang dianggap bergengsi, seperti ilmu-ilmu eksak.


Spirit Sastra
Memang sangat disayangkan ketika sastra semakin termarginalisasi dari bangku sekolah. Padahal, kalau boleh dibilang, sastra adalah ruh kehidupan.
Dengan bersastra kita mampu menghayati hidup. Menemukan jati diri dan mampu menentukan apa-apa yang baik dan buruk serta pantas untuk kita lakukan. Sastra juga mampu membangkitkan semangat jiwa-jiwa yang lelah. Bukankah Chairil Anwar dengan puisi-puisinya mampu membangkitkan para pemuda untuk berjuang melawan para penjajah? Para mahasiswa ketika berdemonstrasi juga melantunkan bait-bait puisi untuk membakar semangat.
Itulah sastra yang berfungsi sebagai ruh dalam kehidupan. Ruh dijadikan berpasangan dengan jasad. Jasad adalah fisik yang kering. Tanpa perasaan dan jiwa. Jika dikaitkan dengan ilmu, ilmu-ilmu eksak maupun ilmu-ilmu lain hanya mengandalkan daya pikir diumpamakan seperti jasad. Kering dan tanpa perasaan. Sastralah yang digunakan sebagai pasangan agar jasad itu hidup. Sastra yang mampu dijadikan penyeimbang (balance) bagi ilmu-ilmu eksak maupun ilmu yang hanya mengandalkan daya pikir, agar tidak kering dan mempunyai perasaan.
Ilmu yang hanya mengandalkan otak tanpa disertai perasaan akan berakibat buruk bagi pemiliknya. Ia cenderung menjadi manusia kaku, tak punya rasa salah, dan tak berperasaan. Dalam bertindak hanya menggunakan otaknya. Ia egois dan tidak memperhatikan perasaan orang lain.
Lihat saja orang-orang yang mahir ilmu-ilmu eksak di Indonesia. Saat meraih kedudukan dan pangkat, mereka malah melakukan korupsi. Mereka tidak peduli apakah hal iu salah atau benar, merugikan orang lain atau tidak, karena mereka tidak mempunyai perasaan. Mereka hanya mengandalkan otak dalam bertindak, sedangkan hatinya tumpul.
Pengalaman semacam ini sesungguhnya mampu dijadikan pelajaran bagi bangsa ini. Bahwa pemberian ilmu yang hanya mengadalkan daya otak saja tidak cukup. Perlu adanya olah jiwa. Olah jiwa tersebut bisa diraih dengan sastra. Sebab, sastra seperti puisi, cerpen, novel timbul dari perenungan jiwa. Ia adalah ungkapan perasaan yang dituangkan dalam kata-kata.
Dengan bersastra, diharapkan jiwa yang kering akan basah kembali. Perasaan yang tumpul akan peka kembali. Sehingga hidup akan senantiasa terarah, teratur, dan tidak semaunya sendiri. Ini artinya, sastra sedapat mungkin harus menjadi prioritas di bangku sekolah. Jangan hanya sekadar sambilan. Pelajaran sastra harus dibuat semenarik mungkin. Hindari memasukkan sastra-sastra absurd yang tidak dimengerti oleh anak didik karena mereka tidak akan suka. Ajak anak didik untuk berapresiasi. Dengan begitu, sastra akan mendapat tempat dan tidak lagi termarginalkan. n


Dimuat di Lampung Pos, 18 Oktober 208
Oleh : Fatkhul Anas