Selasa, 03 November 2009

Kebumen Menuju Kota Budaya

Oleh Fatkhul Anas
 
SATU Januari 2009, bukan hanya bermakna  bagi Indonesia. Kebumen sebagai salah satu kabupaten di Jateng , juga memiliki hubungan erat dengan 1 Januari 2009. Pada tanggal itu, Kota Kebumen tepat berusia 73 tahun. Artinya, pada 1 Januari 2009 lalu Kebumen merayakan ulang tahunnya yang ke-73.

Pada ulang tahun kali ini, tidak hanya semarak pesta kembang api yang beriringan dengan penyambutan Tahun Baru 2009, namun beberapa agenda kegiatan juga dilaksanakan untuk merayakan hari jadi tersebut. Salah satunya adalah Festival Jamjaneng dan Lomba Ebleg. Festival itu diselenggarakan di Alun-alun Kota Kebumen pada 30-31 Desember 2008. Pesertanya anak-anak SD se-Kabupaten Kebumen.

Festival itu boleh dibilang merupakan sesuatu yang langka dan bisa dinilai sebagai terobosan strategis yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kebumen. Disebut langka, karena festival yang diselenggarakan adalah festival budaya dan mengambil objek budaya lokal. Bukan festival kesenian modern atau kesenian islam; bukan pula festival seni rupa atau seni-seni yang lain.

Hal itu langka, karena seringkali festival budaya dengan budaya lokal sebagai ikonnya digelar di kota kebudayaan seperti Yogyakarta dan Surakarta. Namun, saat ini Kebumen telah mencoba menyelenggarakannya dengan baik pula.

Jantung Kesenian

Bagi Kebumen, Janeng dan Ebleg merupakan dua kesenian daerah yang tergolong tradisional. Dua kesenian itu sejak sekian lama telah menjadi jantung kesenian tradisional di kabupaten tersebut.

Dahulu, sekitar 1980-an, sebelum dangdut, musik pop, campursari, dan kesenian modern lain populer, musik Janeng sering dimainkan di mana-mana: di balai desa, kecamatan, pendopo kabupaten, dan di tempat orang punya hajat.

Begitu juga Ebleg. Saat televisi, bioskop, dan media elektronik lainnya belum begitu populer, Ebleg menjadi tontonan laris yang banyak digemari masyarakat Kebumen. Karena itu, Festival Jam Janeng dan Lomba Ebleg yang baru saja diadakan di Alun-Alun Kebumen setidaknya mempu membangkitkan rasa “kangen” masyarakat terhadap dua kesenian tersebut.

Festival Jam Janeng dan Lomba Ebleg menjadi terobosan strategis, setidaknya karena dua hal. Pertama, era globalisasi yang terus bergulir membawa kebudayaan transnasional (budaya asing) ke wilayah Indonesia.

Budaya-budaya asing yang kemudian dikenal sebagai budaya modern itu secara perlahan menggerus budaya daerah. Nuansa kearifan lokal (local wisdom) semakin sirna dan tergantikan dengan gegap budaya modern tersebut. Budaya lokal sangat sulit mempertahankan eksistensinya. Jika ingin bertahan, membutuhkan kekuatan yang ekstra. Jika tidak mampu bertahan, bisa mengambil dua kemungkinan: akan hilang dan tergantikan dengan budaya moderan, atau memilih “perkawinan budaya” antara budaya lokal dan modern atau yang diistilahkan Roland Robertson sebagai glokalisasi. Dalam tataran itulah, posisi budaya lokal saat ini.

Kedua, Kebumen sesungguhnya sedang menggalang kekuatan ekstra untuk mempertahankan kebudayaan lokalnya. Terlebih festival tersebut diadakan untuk anak-anak SD. Itu adalah terobosan luar biasa dan merupakan strategi jitu untuk mempertahankan budaya lokal. Anak-anak SD adalah potensi sekaligus fondasi bagi tegaknya budaya. Anak-anak yang masih dalam taraf belajar, memang sudah seharusnya sejak dini dikenalkan dengan budaya lokalnya. Hal itu agar budaya tersebut mampu merasuk, tidak hanya ke dalam otak mereka, namun juga ke dalam sanubarinya. Dampaknya, tentu saja ketika mereka dewasa. Mereka akan mampu mempertahankan kebudayaan lokal tersebut, karena telah menyatu dengan dirinya.

Kota Budaya

Penyelengaraan Festival Jam Janeng dan Lomba Ebleg jika ditengok lebih jauh merupakan sebuah terobosan bagi Kebumen untuk bertransformasi menjadi kota budaya. Potensi kebudayaan Kebumen yang cukup heterogen, sesungguhnya jika dikelola dengan baik akan mampu menghasilkan produk kebudayaan yang bermutu. Di satu sisi, kebudayaan lokal tidak akan sirna. Jadi tidak hanya Yogya dan Surakarta yang kebudayaan lokalnya masih eksis, Kebumen pun bisa demikian. Kebudayaan lokal Kebumen akan mampu bertahan tanpa tergerus kebudayaan modern, dan di kemudian hari bisa menjadi basis bagi Kebumen untuk menuju kota budaya.

Namun untuk mencanangkan kota budaya, tentu saja perlu usaha berlanjut dari Pemkab Kebumen. Usaha tersebut bisa dimulai dari pembinaan generasi. Festival Jam Janeng dan Lomba Ebleg yang baru saja dilaksanakan tersebut, sesungguhnya dalam rangka itu juga. Para generasi Kebumen digembleng dan digodok agar mampu mengenal sekaligus menjadi pelaku kebudayaan lokal.
Namun bukan berarti Festival Jam Janeng dan Lomba Ebleg itu cukup untuk membina generasi. Perlu ada follow-up, misalnya dengan menyelenggarakan pentas antarsekolah, lomba, menampilkan pada hajatan warga, maupun pada hajatan sekolah, seperti perpisahan dan lain-lain.

Di tingkat non-sekolah juga perlu dibina, misalnya melatih para pemuda dengan kesenian lokal. Lalu mereka dibuatkan organisasi sebagai payung hukum sekaligus wadah untuk berkreasi. Dalam hal itu dukungan Pemkab jelas menjadi unsur vital, baik itu dukungan pendanaan, penyediaan fasilitas, motivasi, maupun pengayoman.

Selain Pemkab, dukungan dari masyarakat juga sangat menentukan. Masyarakatlah yang semestinya berperan aktif dalam mempertahankan budaya lokal tersebut. Mereka adalah pelaku budaya. Jadi sangat naif jika hanya pemkab yang bergerak, sementara masyarakat diam dan pasif.

Dengan kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemkab, usaha untuk mempertahankan budaya lokal akan makin mudah, dan tentu saja harapan Kebumen menuju kota budaya akan mudah pula diwujudkan.

(Suara Merdeka, 7/01/09) 

Membumikan Pendidikan Humanis

Oleh : Fatkhul Anas



DUNIA pendidikan Indonesia tahun ini kembali bermuram durja. Pendidikan seolah tak kuasa menampakkan wajah cerianya, setelah pengumuman hasil ujian nasional (UN) tingkat SLTA beberapa hari lalu.

 
Pasalnya, grafik kelulusan menunjukkan kurva penurunan dibandingkan dengan kelulusan tahun 2007. Di sejumlah daerah seperti Tegal, persentase kelulusan SMA/MA menurun dari 92,37 persen (2007) menjadi 86,01 persen pada tahun ini. Di Kalimantan Tengah, persentase kelulusan UN SMA/MA turun dari 98,00 menjadi 95,31 persen, dan untuk SMK merosot dari 92,00 menjadi 91,8 persen (Kompas, 16 Juni 2008).
 
Persentase kelulusan yang mengalami penurunan ini jelas telah menjadi bukti bahwa pendidikan kita masih gagal dalam mencetak output yang andal. Perjalanan pendidikan Indonesia, yang sudah berlangsung puluhan tahun, ternyata belum mampu mengkader generasi-generasi militan.
 
Semestinya, makin tua usia pendidikan makin matang pula dalam mencetak anak didik berkualitas. Namun, hal itu rupanya belum berlaku bagi Indonesia. Bagi bangsa ini, pendidikan ideal masih dalam taraf cita-cita (das sollen), belum bisa direalisasikan dalam dunia empiris (das sein). Hal ini mengharuskan Indonesia merekonstruksi sistem pendidikan secara kontinu, agar tercipta sistem baru yang benar-benar mujarab.
 
Penambahan input mata pelajaran dalam UN kali ini sebenarnya dalam rangka untuk mencetak output pendidikan agar lebih bermutu. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Anak didik belum siap dengan penambahan input mata pelajaran. Hasilnya bisa dilihat sendiri: persentase kelulusan mengalami penurunan. Ini menjadi indikasi bahwa mutu anak didik Indonesia memang masih rendah. Karena itu, pendidikan masih perlu bahkan wajib mengevaluasi ulang (re-evaluasi) serta mengadopsi sistem baru.
 
Dalam hal sistem, sebenarnya Indonesia telah memiliki tenaga-tenaga andal untuk merumuskannya. Namun penerapannya masih jauh dari harapan. Persoalan mendasar, antara lain, masih banyak tenaga pendidik yang belum sepenuhnya sadar akan hakikat pendidikan.
 
Pendidikan yang semestinya menjadi misi humanis (memanusiakan manusia) justru kian menjauhkan anak-anak didik dari hakikat kemanusiaan. Anak didik yang semestinya menjadi ladang produktif dalam bidang keilmuan serta moralitas, malah dijadikan robot yang hanya mematuhi majikan. Sementara dirinya tak mampu berbuat apa-apa. Bukankah pendidikan kita selama ini memang demikian?
 
Ketika di kelas, misalnya, anak didik begitu antusias mengikuti materi pelajaran yang disampaikan guru. Sekilas mereka telah menguasai materi. Tetapi selang sehari-dua hari, apalagi satu minggu, materi yang telah lalu segera lupa begitu saja. Tanpa ada bekas sama sekali. Akhirnya ketika menghadapai ujian, banyak siswa memakai metode belajar borongan. Pelajaran selama satu semester dipelajari dalam semalam. Hasilnya bukanlah keberhasilan, namun kegagalan yang terus berulang.
 
Sistem pendidikan yang seperti itu sesungguhnya baru dalam taraf transfer keilmuan (transfer of knowledge), tetapi tidak transformatif. Anak didik sekadar dijadikan tabungan, sementara guru menjadi penabungnya. Pendidikan ini, dalam istilah Paulo Freire disebut the banking concept of education, masih dijadikan pilihan utama di Indonesia. Terutama di daerah-daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota, serta jauh dari iklim modernitas.
 
Di sana, pendidikan hanya sekadar formalitas untuk memenuhi tuntutan pemerintah. Bukan lahir dari alam kesadaran murni. Pendidikan juga masih sebatas mengejar profesi: untuk melamar kerja, jadi pegawai, atau perangkat desa.
 
Lampu Penerang
Melihat fenomena ini, pendidikan sudah selayaknya kembali pada nilai humanis. Pendidikan kembali menatap manusia sebagai manusia dengan segala potensinya. Sejak lahir, manusia telah diberi bekal berupa akal dan jiwa untuk menjadi lampu penerang dalam perjalanan hidupnya.
 
Manusia telah tercipta sebagai homo educandum yang harus dididik serta dikembangkan potensi yang dimilikinya. Manusia tak bisa berkembang secara alamiah sebagaimana hewan, sehingga sangat dibutuhkan peran orang lain untuk mengembangkan potensinya itu.
 
Dalam hal pengembangan diri, manusia memiliki potensi dasar atau pembawaan sejak lahir yang akan sangat menentukan hidupnya. Namun, ia juga butuh orang lain sebagai pembimbing. Dalam psikologi, term ini masuk dalam pendekatan teori konvergensi. Kalau dalam pendidikan, masuk dalam ranah teori sumber daya manusia.
Manusia sebagai homo educandum haruslah menjadi pusat dari pendidikan. Artinya anak didik menjadi objek, tetapi sekaligus juga subjek pendidikan. Guru dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, dan bukannnya pemegang mutlak kendali pendidikan. Tugas guru, selain memberikan materi, adalah memberikan support, mencari bakat anak, membimbing, serta mengarahkannya.
 
Sistem pengajaran yang dilakukan ialah pengajaran yang berpusat pada murid (student center). Murid dituntut lebih banyak aktif dalam mengolah materi pelajaran. Sedangkan guru hanyalah membimbing serta mengarahkan ke mana siswa harus berjalan. Jadi, pengetahuan benar-benar diperoleh sendiri oleh siswa. Adapun guru hanya memberikan materi untuk memperkuat pengetahuan siswa.
 
Sistem seperti ini bisa makin menumbuhkan kesadaran anak didik untuk belajar. Belajar tidak lagi sebagai kebutuhan yang bersifat mendesak, seperti kalau hampir ujian. Namun belajar menjadi kebutuhan pokok yang selalu dipenuhi setiap hari. Sehingga ketika menghadapi ujian, siswa hanyalah merepro materi-materi yang telah lalu.
 
Itulah hakikat dari pendidikan humanis. Pendidikan ini berusaha menjadikan manusia berkualitas dengan bekal kesadaran untuk terus-menerus mengembangkan potensi diri. Manusia diciptakan untuk tidak jumud dengan pendidikannya. Justru pendidikan akan dijadikan sebagai sebuah kenikmatan yang harus dipenuhi.
 
Hal itulah yang belum dimiliki generasi Indonesia. Bagi mereka, pendidikan masih dianggap sebagai belenggu. Wajar kalau angka kelulusan tahun ini mengalami penurunan, karena manusia Indonesia masih dibelenggu oleh pendidikannya sendiri. Karena itu, membumikan pendidikan humanis dalam konteks terini sangatlah tepat demi kemajuan negeri ini. 

(Suara Merdeka, 23 Juni 2008 ).

Menyoal Sikap Abstain Indonesia

Oleh Fatkhul Anas

Beberapa waktu lalu, tepatnya Selasa, 4 Maret 2008, negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengadakan sidang di Markas Besar PBB terkait resolusi DK PBB terhadap program nuklir Iran. Kali ini mereka sepakat mengeluarkan resolusi No. 1803 terhadap pengembangan program nuklir Iran. Ini adalah resolusi ketiga yang diberikan DK PB terhadap Iran. Dalam resolusi No 1803 tersebut tertera berbagai sanksi terhadap Iran yang di antaranya pembatasan perjalanan dan transaksi keuangan terhadap beberapa individu dan perusahaan di Iran, serta memperluas pelarangan perdagangan sipil dan militer yang akan mendukung perkembangan nuklir Iran. Di dalam sanksi tersebut juga telah tercatat nama dari 13 orang dan 12 perusahaan yang dinyatakan terlibat pengembangan nuklir Iran.
 
 
Satu hal menarik dalam sidang DK PBB ini, yaitu terkait sikap abstain Indonesia saat pemungutan suara. Dari 15 anggota, hanya Indonesia yang menyatakan abstain alias tidak setuju terhadap resolusi DK PBB No 1803. Indonesia yang diwakili Duta Besar/Perwakilan Tetap RI, Marty Natalegawa, dengan percaya diri mengacungkan jari saat Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin sebagai pimpinan sidang menanyakan adakah anggota yang abstain. Ini berarti Indonesia secara terang-terangan menolak resolusi tersebut. Alasan yang dikemukakan Marty pun sederhana, bahwa ia menilai resolusi tersebut bukan jalan terbaik. Sebab, Iran sudah mau bekerja sama badan pengawas atom PBB, IAEA. Ini berarti Iran tidak lagi menutup diri. 
 
Terkait dengan sikap abstain tersebut, kalau benar-benar dicermati dapat dinilai merupakan langkah bijak dari Indonesia. Pasalnya, Iran yang selama ini getol dengan program nuklirnya sudah semestinya mendapat dukungan. Apalagi Iran merupakan negara yang memiliki kesamaan dengan Indonesia. Selain sama-sama negara yang sedang berkembang (meski saat ini Iran sudah tergolong maju), Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Begitu juga Iran yang merupakan negara Islam. Kita juga tahu bahwa Iranlah satu-satunya negara Islam yang getol mengecam Amerika. Karenanya, langkah Indonesia dalam resolusi tersebut merupakan langkah yang bijak dan patut diberikan dukungan. Meski akhirnya resolusi No 1803 tersebut disetujui, setidaknya Indonesia sudah memberikan dukungan maksimal kepada negara Muslim tersebut. 
 
Langkah Indonesia ini juga semakin nyata ketika Presiden SBY merencanakan akan berkunjung ke Iran pada 10-11 Maret 2008 mendatang. Meski langkah SBY ini menjadi sorotan dunia sebagaimana dikatakan Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal, namun hal ini bukanlah penghambat. Sebagai warga negara Indonesia kita semestinya juga ikut mendukung rencana SBY tersebut. Apalagi kunjungan tersebut merupakan kunjungan balasan atas kedatangan Presiden Iran pada Mei 2006 lalu. Sekuat apa pun PBB mengecam Iran, kita jangan hanya diam saja, apalagi menyetujui resolusi tersebut. Kita berhak membela negara tetangga kita yang sama-sama memiliki backgruond keislaman, meski bukan itu satu-satunya alasan. Karena bagaimanapun negara Islam boleh mengembangkan nuklir demi perdamaian. Israel yang selama ini jelas-jelas mengembangkan nuklir untuk peperangan tidak dilarang, mengapa Iran yang belum jelas dampaknya harus dilarang? 
 
Pelarangan terhadap Iran jelas ada maunya. Apalagi pihak yang melarang adalah Israel, sebagaimana ternyata dalam sidang DK PBB kemarin. Kita tahu bahwa Israel adalah sekutu Amerika yang tidak menginginkan negara-negara berkembang berubah menjadi negara maju, lebih-lebih negara Islam. Mereka ingin tetap menguasai peradaban dunia. Mereka takut kalau ada negara yang hendak menjadi pesaing, karenanya jangan heran jika berbagai cara ditempuh guna melumpuhkan negara yang siap maju melawan Amerika dan sekutunya. Boleh jadi resolusi DK PBB adalah salah satu bentuk teror Amerika terhadap negara-negara yang mau menyainginya agar gagal di tengah jalan. Dan, hal ini tampaknya sudah tidak diragukan lagi karena sering PBB hanyalah menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan-kebijakan Amerika alias telah menjadi tangan kanannya. 
 
Karenanya, sikap Indonesia ini perlu dan semestinya untuk didukung oleh warga negara Indonesia. Namun demikian, Indonesia perlu "hati-hati" karena pasti akan menjadi sorotan dunia sebagaimana dikatakan Dino Patti Djalal. Selain itu, Indonesia bisa-bisa mendapat kecaman dari Amerika dan sekutu-sekutunya. Jelas mereka tidak bisa terima begitu saja akan sikap Indonesia ini. Minimal mereka sakit hati karena Indonesia menolak resolusi tersebut. Untuk itu, Indonesia perlu siap siaga menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Sebab, boleh saja kecaman terhadap Indonesia tidak diberikan secara terang-terangan. Misalnya, tidak adanya bantuan kemanusiaan kepada Indonesia atau kebijakan lainnya yang merugikan Indonesia. Bisa saja hal ini terjadi. Toh, Indonesia masih negara berkembang yang belum mempunyai kekuatan besar, baik ekonomi, SDM maupun teknologi. 
 
Meski demikian, Indonesia tak perlu khawatir. Indonesia masih memiliki kawan yang sama-sama tidak mendukung resolusi DK PBB tersebut, antara lain Aljazair. Kemudian dari China, meski dalam rapat mendukung, namun secara sikap tidak. Terbukti mereka akan tetap melakukan hubungan perdagangan dengan Iran. Ini artinya Indonesia tetap berada dalam rel yang aman karena tidak satu-satunya negara yang menolak resolusi tersebut. Sehingga kalau sewaktu-waktu Indonesia dikecam, ada pihak yang mendukung Indonesia. 
 
Tetapi dari pihak Indonesia sendiri juga harus mawas diri. Jangan sampai sikap penolakan terhadap resolusi DK PBB ini menjadikan Indonesia negara penganut blok. Bukankah selama ini Indonesia masih berpegang teguh pada GNB-nya? Jangan sampai pasca runtuhnya Blok Timur lalu Indonesia kemudian kehilangan arah dan mendukung salah satu blok. Dalam hal ini Blok Iran (dikatakan blok karena kekuatan Iran cukup besar). Indonesia harus tetap berpegang pada prinsip GNB-nya. Adapun dukungan terhadap Iran merupakan dukungan demi perdamaian dunia. Karena selama ini Iran mengembangkan nuklir demi perdamaian dunia. Untuk itu, Indonesia tetap bersikap netral saja, tidak fanatik. Sebab, kalau sudah berpandangan fanatik bisa jadi Indonesia akan kehilangan arah.*** 
 
(Suara Karya, 11/03/08)