Senin, 28 Februari 2011

Teologi Kurban Untuk Kaum Perempuan

Oleh : Fatkhul Anas

Puji syukur patut kita haturkan kehadirat Allah Swt atas limpahan karunia-Nya berupa Idul Adha. Di tengah umat yang terlilit bencana, kehadiran Idul Adha bisa menjadi spirit untuk menegakkan kembali cita-cita masa depan yang kandas oleh zaman. Idul Adha  dengan anjuran berkurban di dalamnya, adalah semangat pengorbanan untuk menjemput tujuan hidup yang mulia.
Hanya saja, kurban selama ini dipahami sebagai ibadah yang hanya menjadi hak kaum laki-laki. Seolah, kaum perempuan tak mempunyai andil dalam hal itu. Kaum laki-lakilah yang memiliki otoritas penuh atas spirit kurban. Hal ini wajar karena secara historis, pensyariatan kurban memang hanya melibatkan kaum laki-laki yaitu Ibrahim As dan Ismail As.    

Pengorbanan perempuan
Dalam surah Ash-Shaffat (37) ayat 102, disana dinyatakan, ”Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirlah apa pendapatmu?” Ia menjawab, ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan  mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Dalam ayat ini memang hanya ada dua pelaku yaitu Ibrahim As dan Ismail As yang semuanya laki-laki. Sehingga, seolah-olah semangat pengorbanan hanya dimiliki oleh kaum laki-laki.

Namun, perlu kita cermati bersama bahwa semangat pengorbanan sesungguhnya tidak hanya dimiliki oleh kaum laki-laki. Perempuan pun ikut andil di dalamnya. Hal ini karena perempuan adalah bagian dari kaum laki-laki. Jika dalam ayat diatas yang digambarkan adalah pengorbanan Ibrahim As dan Ismail As, sesungguhya istri Ibrahim As pun ikut berkorban. Bayangkan jika Ibrahim As tidak mempunyai istri, tentu tidak akan lahir Ismail As dan spirit pengorbanan itu tidak terjadi. Jika Ibrahim As begitu tersayat hatinya ketika akan menyembelih anaknya, apalagi sang istri yang melahirkan anak tersebut. Tentu akan lebih tersayat lagi.

Dari sini menjadi jelas bahwa perempuan pun sesungguhnya ikut berkorban. Bukan hanya kaum laki-laki saja. Dalam catatan sejarah pun telah terbuki, bahwa kaum perempuan memiliki pengorbanan besar dalam perjuangan Islam. Adalah Khadijah ra, istri Nabi, perempuan dalam Islam yang banyak memberikan pengorbanan untuk dakwah Nabi. Ia tidak hanya menemani Nabi dalam suka dan duka, tetapi mengorbankan harta dan nyawa. Begitu berarti Khadijah bagi Nabi sehingga Nabi begitu bersedih atas kepergiannya.   

Dalam buku Fiqih Politik Kaum Perempuan (2002), Cahyadi Takariawan mengutip pendapat Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, yang menyatakan bahwa di masa Nabi kaum perempuan ikut berjuang. Salah satunya adalah dalam pengepungan benteng Khaibar. Saat itu, jumlah mereka ada lima belas orang. Mereka diantaranya adalah, Ummu Sinan Al-Aslamiyyah, Ummu Aiman, Salma, Ku’aibah binti Sa’ad Al-Aslamiyyah, Ummu Mutha’ Al-Aslamiyyah, Umayyah binti Qais Al-Ghifariyah, Ummu Amir Al-Asyhaliyyah, Ummu Adh-Dhahak binti Mas’ud Al-Haritsiyyah, Hindun binti Umar bin Haram, Ummu Mani’ binti Umar, Ummu Imarah Nasibah binti Ka’ab, Ummu Salith An-Najjariyyah, Ummu Sulaim, Ummu Athiyyah Al-Anshariyyah, dan Ummu al-A’la Anshariyyah (hlm. 87).

Tak hanya itu, mereka juga terlibat langsung di medan perang. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Anas ra, bahwasanya Ummu Sulaim membawa pisau pada perang Hunain, ketika ditanya Nabi Saw ia menjawab, ”Aku bawa pisau ini, jika akan salah seorang musyrik menghampiriku, akan aku tusuk perutnya” (H.R. Muslim).

Kesetaraan
Spirit pengorbanan yang dilakukan perempuan, sesungguhnya adalah bukti nyata bahwa perempuan tidak identik dengan kaum yang lemah. Karena itu, perempuan dalam bidang-bidang tertentu setara dengan kaum laki-laki. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan tentang kesetaraan itu. Diantaranya adalah setara dalam hal balasan kebaikan (Q.S 4:124& Q.S.16:97), setara dalam hal musyawarah (Q.S.2:233). Bahkan, perempuan sejatinya menjadi partner dalam hubungan sosial (Q.S.9:72).

Syech Ali Ahmad Al-Jarjawi dalam Hikmatu at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Muslim bin Ubaid, bahwasanya Asma’ binti Yazid al-Anshariyyah mendatangi Nabi Saw sebagai utusan kaum wanita. Ia mengatakan bahwa, golongan wanita terpenjara diam di rumah-rumah dan mengandung bayi. Sementara, kaum laki-laki, telah melebihi keutamaan pahalanya dari perempuan karena mereka berjamaah, menjenguk orang sakit, melayat orang meninggal, dan berhaji untuk yang kesekian kalinya. Dan yang lebih utama lagi, kaum laki-laki bisa berjihad fi sabilillah.

Asma’ lalu berkata, “Salah satu dari kalian jika melakukan haji atau umrah atau sedang berjihad, maka kamilah yang menjaga harta kalian, mencuci pakaian kalian, dan mendidik anak-anak kalian. Apakah dengan begitu kami juga mendapatkan bagian pahala seperti yang kalian dapatkan?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Nabi Saw menolehkan wajahnya ke arah para sahabat (laki-laki) dengan perasaan takjub terhadap pertanyaan tersebut. Para sahabat kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, menurut kami, kaum wanita tidak akan mendapat pahala seperti kita”. Nabi Saw kemudian menjawab,

Pahamkan dan beritahukanlah kepada golonganmu wahai kaum wanita. Jika seorang wanita berbuat baik terhadap suaminya, mendapat ridhanya, dan mengikuti para suaminya tersebut, maka mereka akan mendapat pahala yang sebanding dengan apa yang didapatkan kaum laki-laki”.

Dari hadis ini menjadi semakin jelas bahwa posisi perempuan dalam balasan kebaikan setara dengan laki-laki karena mereka telah berkorban meski hanya di rumahnya. Karena itu, spirit pengorbanan kaum perempuan tidak boleh diremehkan. Perempuan memainkan peranan penting yang sangat bermakna dalam kehidupan. Tanpa perempuan, kehidupan di dunia ini tidak akan seimbang. Hormatilah perempuan sebagaimana Tuhan menghormatinya dan jadikan mereka partner dalam kebaikan. Inilah sesungguhnya makna dari teologi kurban untuk kuam perempuan. 

(opini ini dimuat di Kompas Jogja, 16 November 2010) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar