Senin, 04 Januari 2010

Prinsip Kenegaraan Rasulullah SAW

Pilpres 2009 telah usai dilaksanakan. Kini, tiba gilirannya untuk menanti siapa pemimpin yang akan menakhodai bangsa ini. Semoga saja pemimpin yang baru akan membawa wajah baru bagi kehidupan berbangsa. Beban berat yang selama ini ditanggung oleh republik ini semoga segera teratasi sehingga tampak senyum kebahagiaan di wajah ibu pertiwi.

Siapa pun pemimpinnya, ia haruslah mampu mewujudkan janji-janji yang sejak kampanye kemarin digembar-gemborkan. Amanah terhadap kepemimpinan menjadi keniscayaan agar bangsa ini lebih maju dan rakyat lebih sejahtera. Tidak dibenarkan jika pemimpin bersikap otoriter dan mendustai segala janji serta harapan bangsa. Pengalaman pahit bangsa ini telah memberi pelajaran berharga bahwa otoritarian hanya akan membawa luka berkepanjangan.

Saat ini telah sepuluh tahun lebih reformasi bergulir. Tentu saja banyak perubahan yang terjadi di sana-sini. Namun, bandul perubahan tampaknya bergerak ke kutub negatif. Banyak silang sengkarut yang makin tak karuan. Demokrasi sudah menjadi democrazy, pemerintahan korup semakin menjadi-jadi, kejahatan para mafia berdasi semakin tak terkendali, dan rakyat masihlah berdiam di tengah kehampaan.

Di tengah kondisi chaos ini, yang dibutuhkan adalah seorang pemimpin yang benar-benar kredibel dan militan. Pemimpin yang pantang menyerah dan benar-benar amanah. Bukan pemimpin yang mudah terlena dengan tahtanya dan melupakan kewajiban. Islam telah memberi referensi tentang figur pemimpin yang sukses. Adalah Rasulullah SAW, pemimpin yang diakui oleh berbagai pihak, yang telah mampu membawa bendera Islam tegak berdiri dan kokoh, tak mudah roboh. Dalam waktu 23 tahun, Rasul telah menapaki jejak gemilang. Terbukti, Islam yang posisinya minoritas karena lahir di Arab mampu berkembang ke seluruh penjuru dunia hingga saat ini.

Kepemimpinan Rasul
Kepemimpinan Rasul adalah kepemimpinan tersukses sepanjang sejarah. Tak heran jika penulis Barat, seperti Michael H Hart, begitu mengaguminya. Dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, Resived and Updated for the Nineties, New York: Citadel Press Book, 1992, Michael menempatkan Rasulullah sebagai peringkat satu dari seratus tokoh. Alasannya sederhana, ”Saya memilih Muhammad sebagai orang nomor satu yang paling berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan pembaca dan mengundang pertanyaan berbagai pihak. Akan tetapi, menurut saya, hanya dia-lah lelaki dalam sejarah yang benar-benar sukses, baik sukses di bidang keagamaan maupun sukses di bidang duniawi.”


Pengakuan Michael memang tak berlebihan karena Rasul benar-benar tipe pemimpin yang sukses. Tak hanya ia yang bersikap seperti itu. Penulis buku The Genuine Islam, George Bernard Shaw juga memberi pengakuan akan kekagumannya. Ia menulis, ”Saya telah menyelidiki secara saksama laki-laki yang menakjubkan ini. Dalam benak saya, ia (Muhammad) jauh dari sikap anti-Kritus. Bahkan, dia harus dijuluki sebagai penyelamat kemanusiaan.”

Pengakuan para penulis Barat tentang keunggulan Nabi Muhammad SAW jelas akan semakin menambah ketebalan iman umat Islam di Indonesia atau dunia untuk meniru jejak langkahnya. Apalagi, bangsa ini baru saja menggelar pesta demokrasi. Adalah suatu keniscayaan bagi pemimpin bangsa yang terpilih untuk meniru jejak langkah sang Nabi. Pola kepemimpinan yang telah diterapkannya merupakan cermin bagi keberhasilan dan kemajuan bangsa.

Prinsip Kenegaraan
Dalam buku Hayatu Muhammad karya Muhammad Husein Haikal dan juga dalam buku-buku sejarah Nabi yang lainnya, banyak disebutkan tentang prinsip-prinsip kenegaraan yang diterapkan oleh Rasul ketika beliau menjadi pemimpin di Madinah. Prinsip-prinsip itu sebagai berikut. Pertama, persaudaraan dan persahabatan. Setibanya Rasul di Madinah, beliau langsung membangun solidaritas kebangsaan di antara kaum Muhajirin dan Ansar. Beliau banyak mempersaudarakan para sahabatnya, di antaranya Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid, Umar bersaudara dengan Itban bin Malik al-Kharaji, Hamzah bersaudara dengan Zaid bekas budaknya, dan masih banyak yang lain.


Adapun dengan kaum Yahudi, seperti Bani Nadir, Bani Kainuqa, Bani Quzaifah, dan Bani Khaibar, Rasul menjalin persahabatan. Perjanjian antara ia dan kaum Yahudi pun dibuat yang intinya bekerja bersama-sama menjaga keutuhan negara Madinah dengan saling menghormati, menghargai, dan tidak saling menyakiti.

Prinsip yang dibangun Rasul ini sangat efektif untuk mempersatukan kaum Muhajirin dan Ansar sehingga mereka bahu-membahu dan kompak dalam satu cita-cita. Juga terhadap kabilah Yahudi saat itu, Rasul mampu mengajak kerja sama. Jika saja pemimpin Indonesia yang baru saja terpilih mampu menjalin solidaritas yang hangat dengan rakyatnya, tanpa memandang suku, agama, ras, dan budaya, tentu keutuhan NKRI akan mudah terjaga. Aksi separatisme yang masih marak, seperti di Irian Jaya atau kasus serupa GAM, tentu tidak lagi muncul.

Kedua, membangun perekonomian. Berkat persaudaraan yang telah digariskan Rasul, pintu perekonomian juga terkena imbasnya. Kaum Muhajirin yang saat datang ke Madinah tidak membawa bekal apa pun segera memperoleh pekerjaan. Abu Bakar, Umar, dan Ali, misalnya, begitu ke Madinah mereka segera memperoleh garapan sawah dari kaum Ansar. Adapun Abdurrahman bin Auf bisa memainkan roda perekonomiannya di pasar berkat jasa Sa’d bin ar-Rabi. Berkat adanya pintu perekonomian ini, kaum Muslim mampu menikmati kesejahteraan (welfare) dan enjoy (menikmati) hidup.

Semestinya, seperti inilah para pemimpin kita bertindak. Kesejahteraan sosial (social welfare) menjadi fokus utama yang harus dipikirkan dan diberikan. Bayangkan saja, betapa masih banyak warga miskin yang menghuni negeri ini. Pada 2008, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa jumlah penduduk miskin adalah 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk Indonesia. Data itu pun masih banyak diperdebatkan karena data disusun sebelum kenaikan BBM. Angka kemiskinan yang masih menggelembung ini jelas mengharuskan seorang pemimpin untuk menciptakan policy (kebijakan) yang tepat agar kemiskinan segera teratasi.

Dua prinsip kenegaraan yang dibekalkan Rasul di atas jika mampu diimplementasikan oleh presiden yang baru saja terpilih, tentu akan membawa kemaslahatan bagi bangsa ini. Dan, tentu masih banyak prinsip yang lain, seperti toleransi, kerja sama, keadilan, gotong-royong, dan lainnya. Semua itu adalah mutiara berharga yang semoga mampu dijadikan referensi bagi para pemimpin bangsa.

* Dimuat di REPUBLIKA, Kamis, 09 Juli 2009
Oleh : Fatkhul Anas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar