Selasa, 03 November 2009

Menyoal Sikap Abstain Indonesia

Oleh Fatkhul Anas

Beberapa waktu lalu, tepatnya Selasa, 4 Maret 2008, negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengadakan sidang di Markas Besar PBB terkait resolusi DK PBB terhadap program nuklir Iran. Kali ini mereka sepakat mengeluarkan resolusi No. 1803 terhadap pengembangan program nuklir Iran. Ini adalah resolusi ketiga yang diberikan DK PB terhadap Iran. Dalam resolusi No 1803 tersebut tertera berbagai sanksi terhadap Iran yang di antaranya pembatasan perjalanan dan transaksi keuangan terhadap beberapa individu dan perusahaan di Iran, serta memperluas pelarangan perdagangan sipil dan militer yang akan mendukung perkembangan nuklir Iran. Di dalam sanksi tersebut juga telah tercatat nama dari 13 orang dan 12 perusahaan yang dinyatakan terlibat pengembangan nuklir Iran.
 
 
Satu hal menarik dalam sidang DK PBB ini, yaitu terkait sikap abstain Indonesia saat pemungutan suara. Dari 15 anggota, hanya Indonesia yang menyatakan abstain alias tidak setuju terhadap resolusi DK PBB No 1803. Indonesia yang diwakili Duta Besar/Perwakilan Tetap RI, Marty Natalegawa, dengan percaya diri mengacungkan jari saat Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin sebagai pimpinan sidang menanyakan adakah anggota yang abstain. Ini berarti Indonesia secara terang-terangan menolak resolusi tersebut. Alasan yang dikemukakan Marty pun sederhana, bahwa ia menilai resolusi tersebut bukan jalan terbaik. Sebab, Iran sudah mau bekerja sama badan pengawas atom PBB, IAEA. Ini berarti Iran tidak lagi menutup diri. 
 
Terkait dengan sikap abstain tersebut, kalau benar-benar dicermati dapat dinilai merupakan langkah bijak dari Indonesia. Pasalnya, Iran yang selama ini getol dengan program nuklirnya sudah semestinya mendapat dukungan. Apalagi Iran merupakan negara yang memiliki kesamaan dengan Indonesia. Selain sama-sama negara yang sedang berkembang (meski saat ini Iran sudah tergolong maju), Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Begitu juga Iran yang merupakan negara Islam. Kita juga tahu bahwa Iranlah satu-satunya negara Islam yang getol mengecam Amerika. Karenanya, langkah Indonesia dalam resolusi tersebut merupakan langkah yang bijak dan patut diberikan dukungan. Meski akhirnya resolusi No 1803 tersebut disetujui, setidaknya Indonesia sudah memberikan dukungan maksimal kepada negara Muslim tersebut. 
 
Langkah Indonesia ini juga semakin nyata ketika Presiden SBY merencanakan akan berkunjung ke Iran pada 10-11 Maret 2008 mendatang. Meski langkah SBY ini menjadi sorotan dunia sebagaimana dikatakan Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal, namun hal ini bukanlah penghambat. Sebagai warga negara Indonesia kita semestinya juga ikut mendukung rencana SBY tersebut. Apalagi kunjungan tersebut merupakan kunjungan balasan atas kedatangan Presiden Iran pada Mei 2006 lalu. Sekuat apa pun PBB mengecam Iran, kita jangan hanya diam saja, apalagi menyetujui resolusi tersebut. Kita berhak membela negara tetangga kita yang sama-sama memiliki backgruond keislaman, meski bukan itu satu-satunya alasan. Karena bagaimanapun negara Islam boleh mengembangkan nuklir demi perdamaian. Israel yang selama ini jelas-jelas mengembangkan nuklir untuk peperangan tidak dilarang, mengapa Iran yang belum jelas dampaknya harus dilarang? 
 
Pelarangan terhadap Iran jelas ada maunya. Apalagi pihak yang melarang adalah Israel, sebagaimana ternyata dalam sidang DK PBB kemarin. Kita tahu bahwa Israel adalah sekutu Amerika yang tidak menginginkan negara-negara berkembang berubah menjadi negara maju, lebih-lebih negara Islam. Mereka ingin tetap menguasai peradaban dunia. Mereka takut kalau ada negara yang hendak menjadi pesaing, karenanya jangan heran jika berbagai cara ditempuh guna melumpuhkan negara yang siap maju melawan Amerika dan sekutunya. Boleh jadi resolusi DK PBB adalah salah satu bentuk teror Amerika terhadap negara-negara yang mau menyainginya agar gagal di tengah jalan. Dan, hal ini tampaknya sudah tidak diragukan lagi karena sering PBB hanyalah menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan-kebijakan Amerika alias telah menjadi tangan kanannya. 
 
Karenanya, sikap Indonesia ini perlu dan semestinya untuk didukung oleh warga negara Indonesia. Namun demikian, Indonesia perlu "hati-hati" karena pasti akan menjadi sorotan dunia sebagaimana dikatakan Dino Patti Djalal. Selain itu, Indonesia bisa-bisa mendapat kecaman dari Amerika dan sekutu-sekutunya. Jelas mereka tidak bisa terima begitu saja akan sikap Indonesia ini. Minimal mereka sakit hati karena Indonesia menolak resolusi tersebut. Untuk itu, Indonesia perlu siap siaga menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Sebab, boleh saja kecaman terhadap Indonesia tidak diberikan secara terang-terangan. Misalnya, tidak adanya bantuan kemanusiaan kepada Indonesia atau kebijakan lainnya yang merugikan Indonesia. Bisa saja hal ini terjadi. Toh, Indonesia masih negara berkembang yang belum mempunyai kekuatan besar, baik ekonomi, SDM maupun teknologi. 
 
Meski demikian, Indonesia tak perlu khawatir. Indonesia masih memiliki kawan yang sama-sama tidak mendukung resolusi DK PBB tersebut, antara lain Aljazair. Kemudian dari China, meski dalam rapat mendukung, namun secara sikap tidak. Terbukti mereka akan tetap melakukan hubungan perdagangan dengan Iran. Ini artinya Indonesia tetap berada dalam rel yang aman karena tidak satu-satunya negara yang menolak resolusi tersebut. Sehingga kalau sewaktu-waktu Indonesia dikecam, ada pihak yang mendukung Indonesia. 
 
Tetapi dari pihak Indonesia sendiri juga harus mawas diri. Jangan sampai sikap penolakan terhadap resolusi DK PBB ini menjadikan Indonesia negara penganut blok. Bukankah selama ini Indonesia masih berpegang teguh pada GNB-nya? Jangan sampai pasca runtuhnya Blok Timur lalu Indonesia kemudian kehilangan arah dan mendukung salah satu blok. Dalam hal ini Blok Iran (dikatakan blok karena kekuatan Iran cukup besar). Indonesia harus tetap berpegang pada prinsip GNB-nya. Adapun dukungan terhadap Iran merupakan dukungan demi perdamaian dunia. Karena selama ini Iran mengembangkan nuklir demi perdamaian dunia. Untuk itu, Indonesia tetap bersikap netral saja, tidak fanatik. Sebab, kalau sudah berpandangan fanatik bisa jadi Indonesia akan kehilangan arah.*** 
 
(Suara Karya, 11/03/08)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar