Selasa, 03 November 2009

Membumikan Pendidikan Humanis

Oleh : Fatkhul Anas



DUNIA pendidikan Indonesia tahun ini kembali bermuram durja. Pendidikan seolah tak kuasa menampakkan wajah cerianya, setelah pengumuman hasil ujian nasional (UN) tingkat SLTA beberapa hari lalu.

 
Pasalnya, grafik kelulusan menunjukkan kurva penurunan dibandingkan dengan kelulusan tahun 2007. Di sejumlah daerah seperti Tegal, persentase kelulusan SMA/MA menurun dari 92,37 persen (2007) menjadi 86,01 persen pada tahun ini. Di Kalimantan Tengah, persentase kelulusan UN SMA/MA turun dari 98,00 menjadi 95,31 persen, dan untuk SMK merosot dari 92,00 menjadi 91,8 persen (Kompas, 16 Juni 2008).
 
Persentase kelulusan yang mengalami penurunan ini jelas telah menjadi bukti bahwa pendidikan kita masih gagal dalam mencetak output yang andal. Perjalanan pendidikan Indonesia, yang sudah berlangsung puluhan tahun, ternyata belum mampu mengkader generasi-generasi militan.
 
Semestinya, makin tua usia pendidikan makin matang pula dalam mencetak anak didik berkualitas. Namun, hal itu rupanya belum berlaku bagi Indonesia. Bagi bangsa ini, pendidikan ideal masih dalam taraf cita-cita (das sollen), belum bisa direalisasikan dalam dunia empiris (das sein). Hal ini mengharuskan Indonesia merekonstruksi sistem pendidikan secara kontinu, agar tercipta sistem baru yang benar-benar mujarab.
 
Penambahan input mata pelajaran dalam UN kali ini sebenarnya dalam rangka untuk mencetak output pendidikan agar lebih bermutu. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Anak didik belum siap dengan penambahan input mata pelajaran. Hasilnya bisa dilihat sendiri: persentase kelulusan mengalami penurunan. Ini menjadi indikasi bahwa mutu anak didik Indonesia memang masih rendah. Karena itu, pendidikan masih perlu bahkan wajib mengevaluasi ulang (re-evaluasi) serta mengadopsi sistem baru.
 
Dalam hal sistem, sebenarnya Indonesia telah memiliki tenaga-tenaga andal untuk merumuskannya. Namun penerapannya masih jauh dari harapan. Persoalan mendasar, antara lain, masih banyak tenaga pendidik yang belum sepenuhnya sadar akan hakikat pendidikan.
 
Pendidikan yang semestinya menjadi misi humanis (memanusiakan manusia) justru kian menjauhkan anak-anak didik dari hakikat kemanusiaan. Anak didik yang semestinya menjadi ladang produktif dalam bidang keilmuan serta moralitas, malah dijadikan robot yang hanya mematuhi majikan. Sementara dirinya tak mampu berbuat apa-apa. Bukankah pendidikan kita selama ini memang demikian?
 
Ketika di kelas, misalnya, anak didik begitu antusias mengikuti materi pelajaran yang disampaikan guru. Sekilas mereka telah menguasai materi. Tetapi selang sehari-dua hari, apalagi satu minggu, materi yang telah lalu segera lupa begitu saja. Tanpa ada bekas sama sekali. Akhirnya ketika menghadapai ujian, banyak siswa memakai metode belajar borongan. Pelajaran selama satu semester dipelajari dalam semalam. Hasilnya bukanlah keberhasilan, namun kegagalan yang terus berulang.
 
Sistem pendidikan yang seperti itu sesungguhnya baru dalam taraf transfer keilmuan (transfer of knowledge), tetapi tidak transformatif. Anak didik sekadar dijadikan tabungan, sementara guru menjadi penabungnya. Pendidikan ini, dalam istilah Paulo Freire disebut the banking concept of education, masih dijadikan pilihan utama di Indonesia. Terutama di daerah-daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota, serta jauh dari iklim modernitas.
 
Di sana, pendidikan hanya sekadar formalitas untuk memenuhi tuntutan pemerintah. Bukan lahir dari alam kesadaran murni. Pendidikan juga masih sebatas mengejar profesi: untuk melamar kerja, jadi pegawai, atau perangkat desa.
 
Lampu Penerang
Melihat fenomena ini, pendidikan sudah selayaknya kembali pada nilai humanis. Pendidikan kembali menatap manusia sebagai manusia dengan segala potensinya. Sejak lahir, manusia telah diberi bekal berupa akal dan jiwa untuk menjadi lampu penerang dalam perjalanan hidupnya.
 
Manusia telah tercipta sebagai homo educandum yang harus dididik serta dikembangkan potensi yang dimilikinya. Manusia tak bisa berkembang secara alamiah sebagaimana hewan, sehingga sangat dibutuhkan peran orang lain untuk mengembangkan potensinya itu.
 
Dalam hal pengembangan diri, manusia memiliki potensi dasar atau pembawaan sejak lahir yang akan sangat menentukan hidupnya. Namun, ia juga butuh orang lain sebagai pembimbing. Dalam psikologi, term ini masuk dalam pendekatan teori konvergensi. Kalau dalam pendidikan, masuk dalam ranah teori sumber daya manusia.
Manusia sebagai homo educandum haruslah menjadi pusat dari pendidikan. Artinya anak didik menjadi objek, tetapi sekaligus juga subjek pendidikan. Guru dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, dan bukannnya pemegang mutlak kendali pendidikan. Tugas guru, selain memberikan materi, adalah memberikan support, mencari bakat anak, membimbing, serta mengarahkannya.
 
Sistem pengajaran yang dilakukan ialah pengajaran yang berpusat pada murid (student center). Murid dituntut lebih banyak aktif dalam mengolah materi pelajaran. Sedangkan guru hanyalah membimbing serta mengarahkan ke mana siswa harus berjalan. Jadi, pengetahuan benar-benar diperoleh sendiri oleh siswa. Adapun guru hanya memberikan materi untuk memperkuat pengetahuan siswa.
 
Sistem seperti ini bisa makin menumbuhkan kesadaran anak didik untuk belajar. Belajar tidak lagi sebagai kebutuhan yang bersifat mendesak, seperti kalau hampir ujian. Namun belajar menjadi kebutuhan pokok yang selalu dipenuhi setiap hari. Sehingga ketika menghadapi ujian, siswa hanyalah merepro materi-materi yang telah lalu.
 
Itulah hakikat dari pendidikan humanis. Pendidikan ini berusaha menjadikan manusia berkualitas dengan bekal kesadaran untuk terus-menerus mengembangkan potensi diri. Manusia diciptakan untuk tidak jumud dengan pendidikannya. Justru pendidikan akan dijadikan sebagai sebuah kenikmatan yang harus dipenuhi.
 
Hal itulah yang belum dimiliki generasi Indonesia. Bagi mereka, pendidikan masih dianggap sebagai belenggu. Wajar kalau angka kelulusan tahun ini mengalami penurunan, karena manusia Indonesia masih dibelenggu oleh pendidikannya sendiri. Karena itu, membumikan pendidikan humanis dalam konteks terini sangatlah tepat demi kemajuan negeri ini. 

(Suara Merdeka, 23 Juni 2008 ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar