Senin, 04 Januari 2010

Mencari Tafsir Baru Pancasila


 

Bangsa ini pernah menderita "luka mendalam" akibat Pancasila yang disalahtafsirkan. Ketika Orde Baru, Pancasila menjadi alat melanggengkan kekuasaan. Orde Baru menafsirkan tunggal terhadap Pancasila, melalui Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4). Barang siapa yang memberikan tafsir lain terhadap Pancasila dan berideologi lain, dianggap anti-Pancasila dan patut dimusuhi.
 

Akibatnya, Pancasila menjadi "musuh" bagi mereka yang kontra terhadap rezim. Setelah rezim Orde Baru, membicarakan Pancasila merupakan suatu "keengganan" karena terkesan mendukung rezim tersebut. Pancasila menjadi sesuatu yang tabu, kotor, dan tak pantas diucapkan. Padahal, Pancasila bisa menjadi alat pemersatu bangsa. Buku karya As'ad Said Ali yang berjudul Negara Pancasila; Jalan Kemaslahatan Berbangsa ini hadir dalam rangka memberikan prespektif baru terhadap Pancasila.
 

Buku ini memotret bagaimana sejarah, perjalanan, dan kedudukan Pancasila mulai dari lahirnya sampai saat ini. Buku ini menjelaskan bahwa lahirnya Pancasila bukanlah tercipta sebagai sebuah ideologi. Pancasila tak lain berfungsi sebagai kontrak sosial atau semacam kesepakatan bersama di antara para tokoh yang merupakan wakil dari seluruh wilayah Indonesia untuk menciptakan persatuan. Mengingat wilayah Indonesia saat itu sudah kompleks dengan beragam suku, agama, dan ras, dibutuhkan alat pemersatu yang bisa diterima semua pihak.
 

Lahirnya Pancasila tidaklah taken for granted, tetapi melalui proses perdebatan panjang dan melelahkan. Para tokoh-tokoh BPUPKI masing-masing memunyai usulan yang berbeda. Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikoesoemo mengusulkan negara berdasar Islam, Soekarno mengusulkan Pancasila (tetapi bukan Pancasila seperti sekarang), Soepomo mengusulkan negara intergralistik, sedang Hatta mengusulkan negara berdasarkan persatuan. Semua usulan itu lalu ditampung dan dituangkan dalam sebuah kesepakatan bersama yang disebut dengan Pancasila (hal 166).
 

Ulah Orde Baru yang "menodai" Pancasila menjadikan bangsa ini kehilangan pegangan yang bisa mempersatukan semua golongan. Saat ini, bangsa ini telah terkotak-kotak ke dalam beragam ideologi yang saling tumpang tindih. Belum lagi ideologi berbasis agama yang rata-rata datang dari Timur Tengah maupun gerakan fundamentalisme Kristen, juga turut meramaikan perhelatan bangsa yang masih terkatung-katung ini.
 

Saat ini Indonesia benar-benar layaknya pasar ideologi. Antara satu dan yang lain bersaing memperebutkan satu "konsumen", yaitu bangsa dan negara Indonesia. Lalu, di mana Pancasila di saat seperti ini? Adakah ia mati tertelan zaman sehingga tidak mampu memfilter ideologi-ideologi pendatang? Buku ini mencoba menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Pancasila sudah semestinya dijadikan kembali sebagai pegangan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pegangan hidup dalam hal ini bukanlah pedoman hidup karena pedoman hidup bagi Indonesia adalah agama. Pegangan hidup adalah alat untuk mempersatukan wilayah, cita-cita, serta tujuan bangsa dan negara Indonesia.   

* Dimuat di Koran Jakarta, 16 April 2009

Peresensi adalah Fatkhul Anas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar