Senin, 04 Januari 2010

Isra Mi’raj dan Kesejahteraan Sosial

Di tengah kegembiraan bangsa yang telah usai menyelenggarakan Pilpres 2009, umat Islam masih mampu berjumpa dengan Isra Mi’raj. Adalah rasa syukur sebesar-besarnya yang mampu dipanjatkan ke hadirat Tuhan. Karena pada momentum yang istimewa ini, umat Islam masih diperkenankan untuk menatap indahnya dunia dengan seutas senyum keceriaan. Tentu saja, masjid-masjid ramai dipenuhi kalimat-kalimat dakwah, syiar, lantunan shalawat, zikir, dan doa. Inilah Isra Mi’raj yang menjadi pintu Nabi untuk mendapat perintah shalat lima waktu. 

Momentum Isra Mi’raj kali ini begitu berharga karena baru saja pilpres dilaksanakan. Setidaknya, presiden yang baru saja terpilih bisa memetik buah kearifan dari suri teladan sejati, Rasul pilihan Ilahi. Menjadi sebuah keniscayaan bagi pemimpin bangsa untuk mengambil ibrah (pelajaran), serta contoh-contoh sifat, sikap, maupun tutur kata Nabi. Beliau adalah cahaya umat sekaligus muara percontohan.

Dalam kitab Adabu al-Alim Wa al-Muta’allim , KH Hasyim Asy’ari menuturkan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah mizanul akbar. Darinya, kita disodorkan segala sesuatu mulai dari akhlaknya, sejarah beliau, serta petunjuknya. Segala sesuatu yang sesuai dengan itu maka itulah kebenaran. Ada pun yang bertentangan maka ia adalah batil. Keterangan ini adalah satu dari sekian banyak bukti keagungan Nabi.

Pesan Isra Mi’raj
Nabi sendiri memanglah manusia biasa. Namun, ia diberi wahyu oleh Allah (QS 18: 110). Karena beliau juga manusia biasa, kita yang juga manusia biasa tentu mampu mencontohnya. Termasuk dalam hal ibadah, Nabi menjadi panutan. Apalagi, ibadah shalat yang merupakan tiang agama, hanya kepadanya kita meniru agar tidak terjadi bid’ah. Shalat yang diterima Nabi saat beliau Isra Mi’raj, adalah titik spiritualitas yang menurut Sayyed Hossein Nasr dalam buku Islam: Religion, History, and Civilization memungkinkan integrasi keberadaan seorang hamba Allah dalam keadaan pengabdian seutuhnya kepada Tuhan.

Karena, menurut ahli-ahli iman dan ihsan, aktivitas shalat adalah media penting bagi perjalanan naik menuju singgasana Tuhan berdasar pada salah satu riwayat hadis Shalat adalah salah satu perjalanan pendakian spiritual orang yang beriman (ash-shalat mi’raj al-mu’min) . Itulah pentingnya shalat bagi umat Islam sehingga wajar jika untuk mendapatkannya Nabi harus naik ke Sidratul Muntaha.

Pesan shalat adalah adalah titik terpenting yang Nabi dapatkan saat Isra Mi’raj. Meski bukan hanya itu saja pesannya, Isra Mi’raj juga mengandung pesan-pesan kemanusiaan. Terbukti dari sejarah, datangnya shalat membawa dampak positif bagi umat Islam. Meski saat Nabi Mi’raj banyak Muslim Makkah yang kafir karena tak percaya, di balik itu muncul tokoh-tokoh dengan keimanan kuat. Abu Bakar adalah contoh terdekat sehingga ia dijuluki as-sidiq.

Seusai Nabi menerima perintah shalat, tak terasa Islam tersebar luas ke wilayah Yasrib (Madinah). Betapa wajah Nabi saat itu ceria karena di Makkah ia tidak mendapatkan tempat, namun di Yasrib dijadikan panutan. Segera ia bersama umat Islam hijrah dan membangun Negara Islam di sana. Di sinilah pesan berharga Isra Mi’raj bahwa shalat sebagai kesalehan pribadi harus menjadi fondasi bagi kesalehan sosial. Jadi, tidak semestinya jika umat Islam hanya terhenti pada shalat semata, namun melupakan nilai-nilai sosial.

Kesejahteraan
Pesan kemanusiaan yang begitu berharga ini, sudah semestinya mampu diaplikasikan oleh umat Islam Indonesia, terlebih bagi presiden yang baru saja terpilih. Sebab, Nabi adalah kepala negara di Madinah. Saat itu, Nabi mampu membangun fondasi kehidupan yang baik, seperti aspek perekonomian. Itu dilakukan usai Nabi hijrah. Berarti, setelah Isra Mi’raj. Aspek yang digali Rasul untuk mendongkrak perekonomian di antaranya dengan pertanian dan perdagangan, yang saat itu menjadi mata pencaharian kaum Ansor.

Kaum Muhajirin yang tidak membawa bekal apa pun diberikan kesempatan untuk bekerja. Adalah Abu Bakar, Umar, dan Ali, yang diprioritaskan di bidang pertanian. Adapun Abdurrahman bin Auf, dalam bidang perdagangan (Muhammad Husain Haekal :1972). Berkat adanya pintu perekonomian ini, kaum Muslimin pun mampu menikmati kesejahteraan ( welfare ). Tidak lagi terlunta-lunta dan sengsara. Usaha Nabi sudah semestinya dicontoh para pemimpin.

Terlebih di Indonesia, jumlah kaum miskin makin menjadi-jadi. Data BPS menyebutkan, pada Maret 2009, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, berkurang 2,43 juta jiwa dibandingkan (hasil survei) Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen (dari total populasi). Data ini pun masih banyak digugat karena dinilai tidak valid.

Terlepas dari valid dan tidaknya, adalah keharusan pemimpin untuk menjamin kesejahteraan ( welfare ) dan keadilan ( justice ) bagi kaum miskin. Tidak dibenarkan membiarkan mereka terlunta-lunta. Islam mengecam orang-orang yang tidak mau serius mengusahakan makan (kebutuhan dasar) kaum miskin dan memberi lebel mereka sebagai ‘pendusta agama’ (QS Al-Ma’un). Amanat pancasila juga memberikan kewajiban pemimpin untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa.

Adapun keadilan sosial bagi John Rawls (1971) adalah adanya persamaan hak untuk menikmati seluas-luasnya seluruh sistem dari kebebasan dasar yang sama. Manusia dari golongan apa pun berhak untuk menikmati akses pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Dan, ketika ada ketimpangan ekonomi sehingga melahirkan kelompok kurang beruntung ( disanvantage group ), harus diatur sedemikian rupa sehingga kelompok tersebut masih diuntungkan.

Kalau pada negara kesejahteraan ( welfare state ), kaum miskin ditampung oleh negara dengan diasramakan, diberikan akses, dan lainnya. Rasul pun pernah melakukan itu ketika menampung kaum miskin dari Makkah yang tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka ditempatkan di bangunan di selesar Masjid yang kemudian dikenal dengan suffah (bagian Masjid yang beratap). Sehingga, golongan itu diberi nama Ahlus Suffah (penghuni suffah ).

Karena Indonesia bukan murni negara kesejahteraan, penyediaan lapangan pekerjaan, pemberdayaan kaum miskin, bantuan, dan segala program pengentasan kemiskinan menjadi keniscayaan. Semoga saja kali ini presiden yang baru terpilih mampu memperbaiki kinerjanya, sebagaimana produktivitas Rasulullah Saw setelah Isra Mi’raj.

* Dimuat di Republika, 17 Juli 2009
Oleh : Fatkhul Anas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar