Senin, 04 Januari 2010

Capres Kaya di Tengah Bangsa Miskin

Ketika tim KPK mengaudit kekayaan para capres, banyak hal mengejutkan ditemukan. Keterkejutan itu karena kekayaan semua capres meningkat drastis. Capres yang paling bertambah hartanya adalah Megawati, disusul Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono. Harta Yusuf Kalla dari yang semula Rp 253,91 miliar naik Rp 50 miliar sehingga menjadi Rp 303 miliar. Megawati dari Rp 86,26 miliar naik Rp 60 miliar sehingga menjadi Rp 146 miliar. Sedangkan SBY dari Rp 7,14 miliar naik Rp 1,78 miliar sehingga menjadi Rp 8,92 miliar (Republika, 20/05/09).

Kenaikan harta capres tentulah sebuah ironi bagi negeri ini. Karena di pelosok-pelosok sana kaum papa masih terlunta-lunta. Kemiskinan yang mendera mereka tak kunjung menemukan "obat mujarab" sehingga semakin menjadi-jadi. Mereka yang tak mampu bekerja dan yang sudah bekerja tetapi sekadarnya, sungguh sedang membutuhkan uluran tangan untuk disejahterakan.

Lihat saja jumlah angka kemiskinan di Indonesia yang masih cukup tinggi. Jumlah penduduk miskin tahun 2008 yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk Indonesia. Data itu pun masih banyak diperdebatkan karena data disusun sebelum kenaikan BBM. Belum lagi jika ditambah dengan angka pengangguran yang masih cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penganggur pada Februari 2008 telah tercatat sebesar 9,43 juta orang.

Kesejahteraan Sosial
Angka pengangguran yang cukup tinggi tentu mempertinggi pula angka kemiskinan. Dan ini adalah sebuah fakta yang harus diterima oleh bangsa. Bukankah sangat ironis ketika kemiskinan masih meraja lela, sementara para pemimpin bangsa berlomba-lomba memupuk kekayaan? Semestinya, para capres itu sedih melihat kondisi bangsanya karena dirinya kaya sementara bangsanya miskin. Ini artinya, para capres sudah semestinya tergerak hatinya untuk berusaha mensejahterakan rakyat jika mereka nantinya terpilih menjadi pemimpin. Jadi sejak saat ini rumusan tentang kesejahteraan sosial (social welfare) harus sudah dipikir matang-matang.

Memang, para capres sedang gencar-gencarnya mempromosikan "resep" ekonomi masing-masing. Namun hal itu belum tentu sebuah kesadaran penuh untuk mensejahterakan rakyat. Bisa jadi karena kepentingan politis yaitu pemilu presiden 2009. Sementara rakyat benar-benar membutuhkan kesejahteraan sosial. Rumusan kesejahteraan siosial itu sendiri, sebagaimana digambarkan James Midgley (1997:5) adalah suatu kondisi yang harus memenuhi tiga syarat utama yaitu ketika masalah sosial dapat dimenej dengan baik, ketika kebutuhan terpenuhi, dan ketika peluang-peluang sosial terbuka.

Jika salah satu dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka menurut Ricard Timuss (1974) yang akan muncul adalah social illfare (ketidaksejahteraan sosial). Adapun versi lain tentang kesejaheraan sosial adalah sebagaimana dalam UU tentang Kesejahteraan Sosial yang baru disahkan pada 18 Desember 2008 sebagai pengganti terhadap UU No 6 tahun 1974. Di sana disebutkan bahwa "Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri.

Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan sosial tersebut, diperlukan adanya kebijakan sosial. Dalam tataran inilah para capres dituntut untuk menelurkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan sosial jika mereka menjadi pemimpin. Karena itu, capres dituntut sejak dini untuk merumuskan kebijakan sosialnya. Kebijakan sosial itu sendiri menurut Huttman adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.

Metode Kebijakan Sosial
Kebijakan sosial yang selama ini berjalan, rata-rata dilakukan dengan tiga metode. Pertama, berupa program pelayanan sosial yang secara langsung dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Kedua, upaya untuk menyejahterakan warga negara dengan produk perundang-undangan (statutory regulation). Dan ketiga, peningkatan kesejahteraan dengan menggunakan sistem pajak (Miftachul Huda:2009:89). 

Selama ini, pemerintah telah berusaha memberlakukan ketiga metode diatas seperti penetapan UMR, penarikan pajak untuk pembangunan sosial, BLT dan lainnya. Terlepas dari kritik para ahli, kebijakan tersebut sesungguhnya ditujukan agar kesejahteraan sosial mampu terwujud dengan sesungguhnya.

Berhubung Indonesia sebentar lagi akan mengadakan pilpres, maka para capreslah yang semestinya memikirkan agenda kebijakan sosial yang akan mereka terapkan nanti. Dan hal ini bukanlah sebuah tugas yang ringan. Perlu perenungan yang mendalam. Kalau menganggap enteng, bisa jadi resep kebijakan yang akan diterapkan tidak akan mujarab alias tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi jika para capres sibuk menumpuk kekayaan dan lupa dengan tugas utama mereka. Bukanlah kesejahteraan sosial yang akan didapat tetapi social illfare (ketidaksejahteraan sosial).

Untuk itu, para capres dituntut memiliki iktikad kuat untuk memperjuangkan nasib rakyat serta untuk tidak korupsi. Saat ini saja sudah kaya, jadi tidak dibenarkan menumpuk kekayaan dengan jalan korupsi. Korupsi hanya akan menyengsarakan rakyat dan akan mencederai etika berdemokrasi. Dalam demokrasi sebagaimana menurut pengamat politik J. Kristiadi (2008), diperlukan pemerintah yang terbuka dan bertanggung jawab. Bentuk pertanggung jawaban tersebut salah satunya diwujudkan dengan bertanggung jawab menjaga amanat rakyat. 

Maka, pemimpin yang korupsi jelas ia tidak bertanggung jawab terhadap amanah rakyat. Karena itu, adanya pemimpin yang amanah menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kesejahteraan sosial. Bukan para pemimpin yang pandai korupsi dan menumpuk kekayaan. 

* Dimuat di Suara Pembaruan, 9 Mei 2009
Oleh : Fatkhul Anas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar