Senin, 04 Januari 2010

ACEH PASCA-MOU HELSINKI



PADA15 Agustus 2005,peristiwa agung menyertai bumi Serambi Mekah,yaitu penandatanganan MoU antara GAM dan Pemerintah Indonesia di Helsinki,Finlandia.
Setelah penandatanganan MoU tersebut, Aceh berada dalam ”Beranda Perdamaian (Verandah of Peace)” setelah sekitar 30 tahun didera konflik. Stereotipe ”Serambi Kekerasan (Verandah of Violence)” yang dialamatkan untuk Tanah Rencong itu sudah tidak lagi menemukan tempat.
 
Aceh semenjak kesepakatan Helsinki hingga saat ini menjadi Aceh yang damai dan penuh warna cinta. Buku Beranda Perdamaian: Aceh Tiga TahunPascaMoU Helsinki menelusuri perjalanan perdamaian di Tanah Rencong itu. Melalui penelitian yang komprehensif, Ikrar Nusa Bhakti dan kawan-kawan dari P2P-LIPI berhasil menyelesaikan penelitian dengan hasil yang gemilang.
 
Semua penelitian itu tak lain demi kecintaannya pada bumi Aceh yang pada 15 Agustus 2008 ini merayakan pesta perdamaian tiga tahun pasca MoU Helsinki. Konflik Aceh dengan Pemerintah RI sesungguhnya telah berlangsung cukup lama. Namun konflik yang paling monumental terjadi setelah munculnya GAM.
 
De facto, GAM lahir pada 20 Mei 1977, tetapi Hasan Tiro, pencetus sekaligus pemimpin GAM, lebih memilih hari lahir GAM 4 Desember 1976—disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Latar belakang lahirnya GAM setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor berikut. Pertama, adanya perasaan kecewa terhadap pemerintah pusat yang mengeksploitasi kekayaan Aceh secara besar-besaran, sementara Aceh sendiri hanya diberi jatah 5 persen.
 
Tak heran jika Aceh merupakan provinsi miskin, meski memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah. Kedua, sikap sentralistis pemerintahan Orde Baru yang memberlakukan penyeragaman seluruh struktur pemerintahan lokal Aceh menyebabkan rakyat Aceh tidak mampu berkiprah secara leluasa. Meski telah diberi ”keistimewaan”, namun rakyat tidak diberi ruang untuk menggunakan keistimewaan itu. Ketiga, setelah GAM lahir, konflik di Aceh semakin panas. Mereka sering melakukan kontak senjata dengan tentara-tentara RI.
 
Gerakan GAM pun semakin berkembang dari sederhana menjadi kompleks. Awalnya pada 1976–1979 GAM hanya merupakan kelompok separatis kecil yang didirikan oleh 70 cendekiawan yang tersebar di kampung Hasan Tiro, Pidie. Gerakan ini dapat dipadamkan dengan operasi intelijen militer yang memaksa Hasan Tiro melarikan diri ke Swedia pada 1979. Pada kurun 1999–2005, GAM semakin populer di tanah Aceh karena beberapa faktor.
 
Penggelaran kembali operasi militer,kegagalan Kesepakatan Jeda Kemanusiaan, Penghentian Permusuhan (CoHA) antara GAM dan Pemerintah RI, dan kegagalan pemerintah dalam menerapkan status otonomi khusus di Aceh (hlm 15). Untuk merenda perdamaian GAM dan Pemerintah RI, telah dikeluarkan berbagai macam kebijakan. Sejak Soeharto turun tahta, kebijakan dari para elite Jakarta terus bergulir.
 
Namun, tak satu pun kebijakan itu menuai hasil yang diinginkan. Baru pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) perjanjianperdamaiandapatsepenuhnya disepakati kedua belah pihak, ketika ditandatangani MoU pada 15 Agustus 2006.
 
Berlandaskan MoU tersebut, pemerintah mengintegrasikan mantan anggota GAM ke dalam masyarakat, memberi bantuan ekonomi,serta memberi kesempatan dalam pilkada. Sejak momen itu bergulir, nuansa damai di Aceh semakin tampak.Rakyat Aceh, terutama GAM,tidak lagi memberontak.
 
Mereka telah hidup dalam masyarakat yang rukun dan tenteram.Namun,bukan berarti nuansa damai itu tidak melahirkan persoalan baru. Banyak persoalan bermunculan di seputar kehidupan masyarakatAceh. Persoalan yang sangat menonjol adalah korupsi birokrasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah Aceh. Budaya KKN semakin bermunculan seiring maraknya korupsi di Tanah Air.
 
Jaminan kesejahteraan bagi para mantan GAM juga semakin bermasalah. Banyak mantan GAM yang nasibnya terluntalunta karena tidak memiliki pekerjaan. Banyak pula warga sipil di pedesaan yang dulu pernah terkena imbas Daerah Operasi Militer (DOM) tidak diperhatikan kesejahteraannya. Selain itu, sekat kecurigaan antara TNI dan GAM masih belum mampu dihilangkan (hlm 381). Sekian persoalan tersebut saat ini sedang menjuntai di bumi Aceh.
 
Meski demikian, masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya patut bersyukur karena beranda perdamaian telah mampu disemai. Kini masyarakat Aceh mampu menikmati hidup dalam ketenteraman tanpa dibayang-bayangi rasa waswas akan adanya teror. Buku ini memberikan gambaran bagaimana hasil nyata perdamaian Aceh kini sudah mulai terlihat.
 
Selain itu, buku ini juga mengingatkan,baik kepada pemerintah pusat maupun pemerintah NAD, agar tetap serius merajut perdamaian lewat aksi-aksi nyata untuk menyejahterakan rakyat Aceh.(*)
 

* Dimuat di Seputar Indonesia, 9 Agustus 2009
Oleh : Fatkhul Anas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar